Sabtu, 01 Juni 2013

Tugas Managemen Konflik Pertanahan : Rencana Pembangunan Rel KA di lombok

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      LATAR BELAKANG
Tanah merupakan salah satu faktor penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Manusia hidup dan melakukan berbagai aktivitas kesehariannya di atas tanah serta memperoleh bahan pangan dengan memanfaatkan tanah. Bahkan bagi Negara Indonesia tanah merupakan salah satu modal utama bagi kelancaran pembangunan. Menurut Bambang Tri Cahyo, tanah mempunyai nilai yang sangat penting karena mempunyai 3 (tiga) komponen yang melekat, yaitu :
  1.  Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya, sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai nilai produksi dan jasa.
  2.   Komponen penting kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya.
  3.   Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomi, suatu barang (dalam hal ini tanah) harus layak untuk dimiliki dan ditransfer.
Tanah merupakan harta kekayaan yang bernilai tinggi karena nilai jualnya yang akan selalu bertambah akibat kebutuhan terhadap tanah yang semakin tinggi sedangkan jumlah tanah tidak pernah bertambah. Disadari atau tidak, tanah sebagai benda yang bersifat permanen (tidak dapat bertambah) banyak menimbulkan masalah jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan masalah pembangunan.Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pemerintah telah berusaha melalui jalur yang sah yakni pengadaan tanah maupun pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pelaksanaan pengadaan tanah merupakan persoalan yang kompleks karena terdapat berbagai tahapan dan proses yang harus dilalui serta adanya kepentingan pihak-pihak yang saling bertentangan. Persoalan perolehan tanah milik masyarakat untuk keperluan pembangunan guna kepentingan umum menjadi suatu persoalan yang cukup rumit. Kebutuhan tanah baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah tanpa diikuti dengan pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 6 ayat (1)). Tugas dari Panitia Pengadaan Tanah berdasarkan Pasal 8 yaitu:
  1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atas tanahnya akan dilepaskan atau diserahkan;
  2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
  3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang atas haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
  4. Memberi penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut;
  5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan  tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
  6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atasnya;
  7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum dilakukan dengan musyawarah yang dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Namun jika jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif maka musyawarah akan dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.

1.2. Rumusan Masalah.
1.2.1. Mengetahui Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum                                                                                        ?
1.2.2. Memberikan Deskripsi tentang Kriterian Kepentingan Umum                                                                                                       ?
1.2.3. Menjelaskan Mengenai Proses Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum                                                                                         ?
1.2.4. Menjelaskan Hambatan dan Kedaulatan dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum           
                                                                                                ?
1.3. Tujuan Penelitian.
Penelitian ilmiah dilakukan untuk memberikan masalah hukum tertentu dan berusaha memahami secara lebih mendalam. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.      Mengetahui mekanisme pengadaan tanah untuk pembangunan Rel Kereta Api di Kota Mataram- Kabupaten Lombok Tengah menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
2.      Mengetahui cara penentuan ganti kerugian terhadap tanah pertanian setelah terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan





1.4. Manfaat Penelitian
  1. Dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya pengembangan ilmu hukum dalam bidang hukum agraria.
  2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupunpemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
1.5. Metode Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala-gejala lainya. Untuk mengetahui tentang gejala di lapangan dengan didasari judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian penyusun menggunakan metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai suatu yang utuh.
1. Lokasi Penelitian dan Responden.
Lokasi penelitian adalah Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Tengah. Dua Kabupaten/Kota tersebut dijadikan satu lokasi proyek yang mana pada lokasi tersebut diadakan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum dimaksud. Pada dua Kabupaten/Kota  itu hanya dijadikan satu lokasi karena lokasi yang terkena kegiatan pembangunan sarana kepentingan umum dimaksud merupakan satu kesatuan yang terletak pada batas wilayah dua Kabupaten/Kota tersebut.
2. Alat Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Serta studi kepustakaan Data. Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, sedangkan data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi,, surat-surat dan atau warkah-warkah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.
a. Data Primer :
Untuk memperoleh data, dilakukan dengan mempergunakan alat sebagai berikut :
  1. Kuesioner yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka dan tertutup atau kombinasi keduanya, yang ditujukan kepada responden.
  2. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab/wawancara dengan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
b. Data Sekunder :
Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.6


c. Studi Kepustakaan :
Merupakan cara pengumpulan data yang di lakukan melalui membaca bukua buku literature ,peraturan perundang –undangan yang berlaku serta jurnal hukum dan artikel yang di ambil melalui media Cetak dan elektronik berkaitan dengan masalah yang di teliti.
d. Analisis Data.
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif, yaitu analisis dengan cara menggambarkan dan mengkaji data kepustakaan dan data lapangan dalam bentuk pernyataan dengan teliti dan sistematis, dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dibahas masalah-masalah yang sifatnya umum menuju pada hal-hal yang bersifat khusus.
1.6. Sistematika Penelitian :
Untuk memberikan gambaran secara garis besar mengenai penyusunan penulisan hukum penulis akan sertakan sistematika penulisan skripsi ini Adapun Susunan Penulisan penelitian tersistematik ini Sebagai Berikut :



BAB I : PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Perumusan Masalah
  3. Pembatasan Masalah
  4. Tujuan Penelitian
  5. Manfaat penelitian
  6. Metode Penelitian
  7. Sistematka Skripsi

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
1.`Tinjuan Umum Tentang Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umun
  1. Deskripsi Objek Penelitian
  2. Keadaan Wilyah
  3. Penggunaan Tanah
  4. Status Hak atas Tanah
  5. Keadaan Masyarakat
2. Tinjauan Khusus tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dan Kepentingan Umum
  1. Pengertian pengadaaan Tanah
  2. Tata cara pengadaan Tanah
  3. Pengertian kepentingan Umum
  4. Azaz Musyawarah
  5. Ganti rugi kepada bekas pemilik hak atas Tanah
  6. Dasar perhitungan Ganti kerugian



BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Sekilas Objek Penelitian
  1. Letak Geografis
  2. Keadaan wilayah
  3. Penggunaan Tanah
2. Hasil Penelitian tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah
  1. Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kota Surakarta
  2. Proses menentukan Ganti rugi Tanah dan apakah dasar yang dipakai Dalam Penghitungan ganti rugi tanah
  3. Proses Pemberian Ganti rugi Tanah antara Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak atas Tanah
3. Pembahasan Mengenai Proses pelaksanaan Pengadaan Tanah
  1. Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kota Surakarta
  2. Proses cara menentukan Ganti rugi Tanah dan apakah dasar yang dipakai Dalam Penghitungan ganti rugi tanah
  3. Proses mekanisme Pemberian Ganti rugi Tanah antara Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak atas Tanah.

BAB IV : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
  1. Kesimpulan
  2. Saran





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.                        Hak Atas Tanah.
DEFINISI TANAH, FUNGSI DAN PROFIL TANAH

                Definisi Tanah
                1. Pendekatan Geologi
                Tanah: adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah
mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit(lapisan partikel halus).
                2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870)
                Pendekatan Ilmu Tanah sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo =i gumpal tanah.
                Tanah: adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan bumi,
yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktorfaktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.
3. Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris)
                Kata Edaphos = bahan tanah subur.
                Tanah adalah media tumbuh tanaman
Perbedaan Pedologis dan Edaphologis
1. Kajian Pedologis:
                Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau
berdasarkan Pengetahuan Alam Murni.
                Kajian ini meliputi: Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah, Morfologi Tanah,
Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu
Ukur Tanah.
2. Kajian Edaphologis:
                Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media tumbuh tanaman.
Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi,
Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah.
Paduan antara Pedologis dan Edaphologis:
                Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata Guna
Lahan, Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Definisi Tanah (Berdasarkan Pengertian yang Menyeluruh)

Definisi Tanah  
Definisi tanah secara mendasar dikelompokkan dalam tiga definisi, yaitu:
(1) Berdasarkan pandangan ahli geologi
(2) Berdasarkan pandangan ahli ilmu alam murni
(3) Berdasarkan pandangan ilmu pertanian.



Ad 1. Menurut ahli geologi (berdasarkan pendekatan Geologis)
            Tanah didefiniskan sebagai lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang
telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk
regolit (lapisan partikel halus).
Ad 2. Menurut Ahli Ilmu Alam Murni (berdasarkan pendekatan Pedologi)
            Tanah didefinisikan sebagai bahan padat (baik berupa mineral maupun organik) yang
terletak dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: bahan induk, iklim, organisme, topografi, dan
waktu.
Ad 3. Menurut Ahli Pertanian (berdasarkan pendekatan Edaphologi)
            Tanah didefinisikan sebagai media tempat tumbuh tanaman.
Selain ketiga definisi diatas, definisi tanah yang lebih rinci diungkapkan ahli ilmu
tanah sebagai berikut:
            "Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat
tumbuh dan berkembangnya perakaran sebagai penopang tumbuh tegaknya tanaman
dan menyuplai kebutuhan air dan hara ke akar tanaman;
secara kimiawi berfungsi
sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (baik berupa senyawa organik maupun
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial, seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe,
Mn, B, Cl); dan
secara biologis berfungsi sebagai habitat dari organisme tanah yang
turut berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif bagi
tanaman; yang ketiganya (fisik, kimiawi, dan biologi) secara integral mampu
menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik
tanaman pangan, tanaman sayur-sayuran, tanaman hortikultura, tanaman obat-obatan,
tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan.

Fungsi Tanah
1.Tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran
2.Penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, dan unsur-unsur hara)
3.Penyedia kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat pemacu tumbuh: hormon, vitamin,
dan asam-asam organik; antibiotik dan toksin anti hama; enzim yang dapat
meningkatkan kesediaan hara)
4.Sebagai habitat biota tanah, baik yang berdampak positif karena terlibat langsung
atau tak langsung dalam penyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman
tersebut, maupun yang berdampak negatif karena merupakan hama & penyakit
tanaman.

Dua Pemahaman Penting tentang Tanah:
1.Tanah sebagai tempat tumbuh dan penyedia kebutuhan tanaman
2.Tanah juga berfungsi sebagai pelindung tanaman dari serangan hama & penyakitdan dampak negatif pestisida maupun limbah industri yang berbahaya.






Profil Tanah
Profil Tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke batuan
induk tanah.

Profil dari tanah yang berkembang lanjut biasanya memiliki horison-horison sbb:
O –A – E – B - C – R.
Solum Tanah terdiri dari: O – A – E – B
Lapisan Tanah Atas meliputi: O – A
Lapisan Tanah Bawah : E – B
Keterangan:
O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa)
A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap
E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat,
Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral resisten
lainnya tinggi, berwarna terang
B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci
dari harison diatasnya (akumulasi bahan eluvial).
C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau belum
terjadi perubahan
R : Bahan Induk tanah

Kegunaan Profil Tanah
(1) untuk mengetahui kedalaman lapisan olah (Lapisan Tanah Atas = O - A) dan
solum tanah (O – A – E – B)
(2) Kelengkapan atau differensiasi horison pada profil
(3) Warna Tanah

\Komponen Tanah 4 komponen penyusun tanah :
(1) Bahan Padatan berupa bahan mineral
(2) Bahan Padatan berupa bahan organik
(3) Air
(4) Udara
1.Pengertian Hak Atas Tanah.
            Hak tanah tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
            Dengan adanya Hak Menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa “atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”.
Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:
“atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum”.
Sedangkan dalam ayat (2) dinyakatan bahwa :
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi“.
Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, maka negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:
  1. Hak Milik;
  2. Hak Guna Usaha;
  3. Hak Guna Bangunan;
  4. Hak Pakai;
  5. Hak Sewa;
  6. Hak Membuka Tanah;
  7. Hak Memungut Hasil Hutan;
  8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.

2. Macam-macam Hak Atas Tanah
A. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap
Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 16 yaitu :
1. Hak Milik (HM)
Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya.
Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. Sifat demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.





2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan PP No.40 Tahun 1996 Pasal 8 ayat (1) Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 HGB diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 38. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya.

4. Hak Pakai (HP)
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
5. Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya.

B. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara
Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut disebabkan karena hak tersebut bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA yaitu,
“seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan, namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum dihapus”.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara adalah :
1. Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende.
Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama.


2. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.

3. Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.

4. Hak menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.

3. Kewajiban-kewajiban yang terkandung Dalam Hak Atas Tanah
Hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Menurut Pasal 4 ayat (2) UUPA, hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan menggunakan tanah dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan hukum lainnya.
Hak atas tanah, selain mengandung kewenangan juga mengandung kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan. Kewajiban tersebut antara lain :
    1. Adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
    2. Adanya ketentuan Pasal 15 UUPA, yaitu kewajiban memelihara tanah dan mencegah kerusakannya.
    3. Khusus untuk tanah pertanian adanya ketentuan Pasal 10 UUPA yang memuat asas bahwa tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif.






Dalam menggunakan hak atas tanah juga harus diperhatikan pula pembatasan-pembatasan baik yang bersifat umum (di luar) maupun dari haknya sendiri (dalam). Pembatasan umum antara lain: tidak boleh merugikan atau mengganggu pihak lain, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah misalnya adanya planning penggunaan tanah atau land use planning, ketentuan pemerintah daerah tentang rooilyn garis sempadan. Sedangkan pembatasan dari dalam terdapat pada masing-masing hak yang bersangkutan yang disesuaikan dengan ciri-ciri dan sifat tanah tersebut, misalnya Hak Guna Bangunan maka tanah tersebut hanya boleh untuk mendirikan bangunan dan tidak boleh dipergunakan untuk pertanian.
4. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Tanah merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :

“Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, maka telah dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa :
“ Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat”.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai berikut :
“Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
  1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
  2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
  3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air, dan ruang angkasa”.




Hal tersebut bertujuan agar segala sesuatu yang telah diatur tersebut dapat mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan tersebut mengenai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut.4 Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa :
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Isi dari Pasal 4 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara mempunyai wewenang memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum. Pada dasarnya setiap Hak Atas Tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, dimana Hak Bangsa tersebut merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa :
             “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.
Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.



2.2. Cara Memperoleh Tanah
1. Tanah Negara
A. Pengertian Tanah Negara
Pemberian hak atas tanah adalah pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa orang bersama-sama atau suatu badan hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah negara, pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak.
Sedangkan tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. Dasar Hukum Cara Memperoleh Tanah Negara
Kewenangan pemberian hak atas tanah dilaksananakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
“Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum”,

sedangkan Pasal 14 menyatakan :
“Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional memberikan keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadia sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III”.

Dasar hukum tata cara memperoleh tanah Negara:
a. Permeneg Agraria/Kepala BPN No.9/1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah dan hak pengelolaan, yang mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5/1973 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian hak atas tanah.
b. Permeneg Agraria/Kepala BPN No.3/1999 tentang pelimpahan kewenangan dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, yang mencabut Peraturan MEnteri Dalam Negeri No.6/1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah.
C. Tata Cara/Prosedur Permohonan Hak Atas Tanah Negara
Tata cara permohonan hak atas tanah dalam hal ini Tanah Negara diawali dengan syarat-syarat bagi pemohon. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan menentukan bahwa :
Pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan hak milik atas tanah negara secara tertulis, yang diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya melikputi letak tanah yang bersangkutan.
Dalam permohonan tersebut memuat keterangan mengenai pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik serta keterangan lainnya berupa keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon serta keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan hak tersebut diajukan kepada Menteri Negara Agraria melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan maka :
  1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
  2. Mencatat dalam formulir isian.
  3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian
  4. Memberitahukan kepada pemohon.
            Untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat dan berkas permohonan hak atas tanah yang telah lengkap dan telah diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang dimohon kemudian dilakukan pendaftaran haknya ke Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda lahirnya hak atas tanah tersebut.

D. Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah
Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

 Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara. Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Hak milik hapus bila:
a.      tanahnya jatuh kepada Negara:
    1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
    2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
    3. karena diterlantarkan
    4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2

b.      tanahnya musnah.”
Acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta.


E. Pemindahan Hak Atas Tanah
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hakhak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain.Pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah,  tukar menukar, pemasukan dalam perusahaan, dan lain sebagainya. Cara memperoleh tanah dengan pemindahan hak atas tanah ditempuh apabila yang membutuhkan tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, yaitu apabila tanah yang tersedia adalah tanah hak lainnya yang berstatus HM, HGU, HGB, dan Hak Pakai maka dapat digunakan cara perolehan tanahnya melalui pemindahan hak misalnya dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan lain sebagainya.
F. Pencabutan Hak Atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.
Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil.
Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
“Undang-undang” yang dimaksud dalam Pasal 18 tersebut adalah UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dengan peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dan Inpres No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 ini merupakan pelaksanaan dari asas dalam Pasal 6 UUPA yaitu bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
2. Tanah Hak
A. Pengertian Tanah Hak
Tanah Hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan suatu hak tertentu. Tanah Hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai.
B. Cara Memperoleh Tanah Hak
Tanah Hak dapat diperoleh dengan cara pelepasan hak atas tanah/ pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan pencabutan hak atas tanah.



2.3. Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum

1. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
            Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Banyak pendapat baik dari para ilmuwan maupun arti secara tektual dalam aturan maupun secara ilmiah. Arti Pembebasan/Pengadaan tanah secara tektual yang tercantum dalam
a. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993:
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Pasal 1 ayat (2) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musayawarah.
b. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005:
Pasal 1 butir (3) menyebutkan bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Pasal 1 butir (6) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan uang ganti rugi atas dasar musayawarah.
c. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006:
Pasal 1 menyebutkan Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda benda yang berkaitan dengan tanah.
Pasal 2 ayat (1) pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Ayat (2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Pengertian Kepentingan Umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasannya.
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara. UUPA dan UU No. 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi
peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.
3. Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta adalah kepentingan yang diperuntukkan memperoleh keuntungan semata, sehingga peruntukan dan kemanfaatannya hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu bukan masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan elit, kawasan industri, pariwisata, lapangan golf dan peruntukan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan saja. Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta dilakukan secara langsung, antara pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah sesuai kesepakatan bersama.
4. Dasar Hukum Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Sebelum berlakunya Keppres No.55/Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, maka landasan yuridis yang digunakan dalam pengadaan tanah adalah:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15/1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan. ketiga peraturan di atas dicabut dengan:
4. Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Keppres ini juga telah dicabut.
5. Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Keppres No.55/1993.
6. Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Perpres No.36/2005.
5. Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
A. Pengertian Kepentingan Umum
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55/1993, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa:
pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan…………….”
Sehingga menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan umum, dibatasi:
1. dilakukan oleh pemerintah,
2. dimiliki oleh pemerintah,
3. tidak untuk mencari keuntungan.
B. Jenis-jenis Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa :
“kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:
a)      Jalan umum, saluran pembuangan air;
b)      Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c)      Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d)      Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;
e)      Peribadatan;
f)       Pendidikan atau sekolahan;
g)      Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h)      Fasilitas Pemakaman Umum;
i)        Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar;
j)        Pos dan Telekomunikasi;
k)      Sarana Olah Raga;
l)        Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
m)   Kantor Pemerintah;
n)      Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
C. Jenis-jenis dan Bentuk Ganti Kerugian
Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembanguan bagi kepentingan umum adalah :
a)      uang;
b)      tanah pengganti;
c)      pemukiman kembali;
d)      gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c;
e)      bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
 D. Panitia Pengadaan Tanah
Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2) menyatakan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
6. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
A. Pengertian Sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan. Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan konflik itu sendiri adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi perselisihan itu hanya dipendam dan tidak diperlihatkan dan apabila perselisihan itu diberitahukan kepada pihak lain maka akan menjadi sengketa.
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Sengketa akan berakhir kepada tujuan bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.
B. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui instansi formal yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yaitu badan peradilan, dan penyelesain sengketa di luar badan peradilan atau yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR).



1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Badan Peradilan bertugas menerima, memeriksa dan memutus setiap perkara atau sengketa yang muncul di masyarakat. Asas yang dianut dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah cepat, sederhana dan biaya murah.
Meningkatnya jumlah sengketa yang terjadi di masyarakat semakin menambah beban yang harus diselesaikan oleh badan peradilan sehingga asas penyelesaian sengketa secara cepat, sederhana dan biaya murah tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Oleh karena itu, muncul kritik terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang terkesan mahal dan berlarut-larut dalam pemeriksaan dan penyelesaiannya. Kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu memakan waktu lama, biaya tinggi dan berlarut-larut dalam pemeriksaan dan penyelesaiannya, kurang memberikan kesempatan
dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Adanya kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan menyebabkan para pencari keadilan mencari alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
            Pada umumnya arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain karena penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat, murah, dijamin kerahasiaannya, para pihak yang bersengketa dapatmemilih arbiter yang menurut keyakinan mereka mempunyai pengetahuan,pengalaman dan keahlian yang cukup mengenai masalah yangdisengketakan, para pihak dapat menentukan pilihan hukum, proses dantempat penyelenggaraan arbitrase dan keputusannya bersifat final.
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan berdasarkanPasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, alternatif enyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
            Di bawah ini akan diuraikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui alternative dispute resolution, yaitu :
1. Negosiasi
Negosiasi merupakan upaya penyelesaian sengketa yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama. Dalam hal ini, para pihak berhadapan langsung, berunding dan bermusyawarah mendiskusikan persoalan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka. Dalam negosiasi terjadi tawar menawar antar para pihak. Posisi tawar menawar ini akan mempengaruhi jalannya negosiasi sehingga kedua belah pihak harus mengetahui kemampuan masing- masing. Oleh karena itu untuk melakukan negosiasi yang baik dan berhasil diperlukan strategi atau teknik negosiasi.
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa.
Hasil akhir dari pranata penyelesaian sengketa alternatif dalam bentuk mediasi adalah tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan pihak ketiga, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah pihak yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya.
Konsiliator dalam proses konsiliasi mempunyai peran yang cukup berarti karena konsiliator berkewajiban untuk menyampaikanpendapat mengenai duduk persoalan dari sengketa yang dihadapi.Meskipun konsiliator mempunyai hak dan wewenang untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka dan tidak memihak kepada salah satu pihak, konsiliator tidak berhak membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak. Oleh karena itu, hasil akhir dalam proses konsiliasi akan diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.
4. Arbitrase
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian sengketa, yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
            Penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase melibatkan pengambilan keputusan oleh satu atau lebih hakim swasta yang disebut arbiter, dimana arbiter berperan aktif sebagaimana halnya seorang hakim.
Perjanjian arbitrase diajukan oleh pihak-pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu. Arbiter yang terlibat dalam penyelesaian sengketa berkewajiban untuk memutuskan sengketa yang disampaikan kepadanya secara profesional, tanpa memihak menurut kesepakan yang telah dicapai di antara para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum mengenai penyelesaian sengketa hukum atas tanah, yaitu Pasal 30 PP No.24/1997, Pasal 12 dan Pasal 14 Permenag Agraria/Kepala BPN No. 3/1999, serta dasar operasional dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No: 72 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya, khususnya Pasal 35 Mengenai Pembentukan Seksi Bimbingan Teknis dan Penyelesaian Hukum yang bertugas memberikan bimbingan teknis di bidang pengurusan hak-hak tanah dan menyelesaikan sengketa hukum yang berhubungan dengan hak-hak tanah.
Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum atas tanah belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah (Permendagri No.5/1973), oleh karena itu penyelesaian kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa pengalaman, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar.
Mekanisme penanganan sengketa hukum atas tanah lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut:
a. Pengaduan
Dalam pengaduan berisi hal-hal dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan dengan dilampiri bukti-bukti serta mohon penyelesaian dengan disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya sehingga tidak merugikan pemohon.
b. Penelitian
Mekanisme berikutnya setelah pengaduan adalah penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi maupun hasil penelitian fisik di lapangan mengenai penguasaanya. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
c. Pencegahan Mutasi
Tindak Lanjut dari penyelesaian sengketa adalah atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah pengamanan berupa pencegahan untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan atau mutasi.
Tujuan dilakukannya pencegahan atau mutasi adalah menghentikan untuk sementara waktu segala bentuk perubahan terhadap tanah yang disengketakan.
d. Musyawarah
Pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa melalui musyawarah sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa, dan biasanya menempatkan instansi pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Agraria untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.
e. Penyelesaian Melalui Pengadilan
Apabila usaha melalui jalan musyawarah tidak mendatangkan hasil maka sengketa harus diselesaikan oleh instansi yang berwenang yaitu pengadilan.
Jadi pada umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau memperhatikan peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukum dan penyelesaian tersebut harus tuntas.
Pada masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi semua pihak.
Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisonal yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluarga.

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah,maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Ciri ilmiah :
  1. Rasional
  2. Empiris
  3. Sistematis

Syarat data untuk penelitian :
  1. Valid (derajat ketepatan)
  2. Reliabel (derajat konsistensi/keajegan)
  3. Objektif (interpersonal agreement)

Tujuan Penelitian, secara umum :
  1. Penemuan
  2. Pembuktian
  3. Pengembangan

Kegunaan Penelitian, secara umum :
  1. Memahami masalah
  2. Memecahkan masalah
  3. Mengantisipasi masalah

 Penulisan ilmiah atau tesis agar mempunyai nilai ilmiah, maka perlu diperhatikan syarat-syarat metode ilmiah. Secara epistimologis, ilmiah atau tidak suatu tesis adalah dipengaruhi oleh pemilihan dan penggunaaan metode penulisan, bahan atau data kajian serta metode penelitian. Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metodelogi penulisan sebagai berikut :
A. Metode Pendekatan
Metode Pendekataan adalah suatu bentuk usaha dalam melakukan gerak langkah untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatanya di gunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis.
Dalam hal penyelesaian masalah mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram khususnya dalam pelebaran Jalan Pemuda–Praya, tidak hanya dari segi bekerjanya hukum secara otonom, akan tetapi memandang bekerjanya hukum itu sebagai bagian dari bekerjanya segi-segi kehidupan masyarakat lainnya, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya, dimana rasa keadilan ada pada kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu rasa keadilan berada di masyarakat, bukan pada peraturan perundang-undangan.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkanuntuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan ataugejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpabermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
Spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram khususnya dalam pelebaran Jalan Pemuda– Praya, sedangkan analitis berarti mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram (Studi Kasus Pelebaran Jalan Pemuda – Praya).
C. Populasi dan Metode Penentuan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.
Kata populasi (dari bahasa Inggris: Population) dipakai untuk hal-hal berikut:

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram khususnya dalam pelebaran Jalan Pemuda – Praya. Oleh karena itu dengan menggunakan populasi tersebut akan diperoleh data yang akurat dan tepat dalam penulisan tesis ini.
C.2. Metode Penentuan Sampel
Mengingat dasar pemikiran digunakannya sampel di dalam suatu penelitian, antara lain adalah agar dalam penelitian tersebut dapat diperoleh kecermatan yang tinggi, penghematan biaya, waktu, dan tenaga, serta membatasi akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh suatu penelitian (khusnya pelaksanaan eksperimen), maka sampel harus ditetapkan dengan tepat dan benar.
Oleh karena penelitian eksperimen menggunakan sampel yang relatif kecil, maka teknik pengambilan sampel harus dilakukan dengan baik dalam arti tepat dan benar. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketepatan generalisasi hasil eksperimen.
Pada pokoknya teknik pengambilan sampel dibedakan menjadi dua macam, yaitu teknik acak dan teknik non acak. Teknik acak dan non acak akan dikemukakan pada kegiatan belajar selanjutnya.
 Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian dari suatu populasi yang berguna untuk menentukan bagianbagian dari obyek yang akan diteliti. Untuk itu, untuk memilih sampel yang representatif diperlukan teknik sampling. Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakan adalah purposive sampling maksud digunakan teknik ini agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian.
`           Berdasarkan hal tersebut, maka obyek penelitian adalah Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Mataram khususnya dalam pelebaran Jalan Raya PemudaPraya,yang pengambilan secara purposive.
C.3. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian Penetapan lokasi penelitian sangat penting dalam angka mempertanggung-jawabkan data yang diperoleh. Oleh karena itu lokasi penelitian perlu ditetapkan terlebih dahulu. Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kota mataram-Kabupaten Lombok Tengah.
Lokasi penelitian dalan penulisan tesis ini adalah daerah sepanjang Jalan PemudaPraya yang dilebarkan yang masuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Lombok Tengah
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Tujuan yang diungkapkan dalam bentuk hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap petanyaan penelitian. Jawaban itu masih perlu diuji secara empiris, dan untuk maksud inilah dibutuhkan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan ditentukan oleh variabel-variabel yang ada dalam hipotesis. Data itu dikumpulkan oleh sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel tersebut terdiri atas sekumpulan unit analisis sebagai sasaran penelitian.
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa sesuai dengan yang diharapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
1) Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya melalui wawancara (responden, informasi) dan observasi atau diperoleh secara langsung dari masyarakat. Informan adalah sumber data yang berupa orang. Orang yang dalam penelitian ini dipilih dengan harapan dapat memberikan keterangan yang diperlukan untuk melengkapi atau memperjelas jawaban dari responden. Informan penelitian ini adalah penggerak atau pelaku perkelahian, korban dan keluarga mereka, Pejabat Kepolisian (Polsek Larangan), Pejabat Kelurahan (pamong praja) dan tokoh masyarakat formal dan non formal.
Data primer diperoleh dengan :
(a) Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Mataram, khususnya dalam Pelebaran Jalan Raya PemudaPraya.
(b) Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.
(c) Daftar pertanyaan, yaitu daftar pertanyaan yang diajukan kepada orang-orang yang terkait dengan pemberian ganti rugi atas tanah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Mataram, khususnya dalam Pelebaran Jalan Raya PemudaPraya untuk memperoleh jawaban secara tertulis. Dalam hal ini, daftar pertanyaan diberikan kepada warga masyarakat yang tanahnya terkena Proyek Pembangunan Pelebaran Jalan RayaPemuda-Praya.
2) Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer. Data sekunder terdiri dari :
(a) Bahan-bahan hukum primer, meliputi :
    1. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
    2. UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya.
    3. UU No. 30/1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
    4. PP No. 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.
    5. PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah
    6. PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
    7. Keppres No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
    8. Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
    9. Perpres No. 65/2006 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
    10. Inpres No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.
    11. Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 1/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55/1993.
(b) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :
  1. Buku-buku yang membahas tentang hukum agraria dan masalah pengadaan tanah untuk pembangunan.
  2. Buku-buku yang membahas tentang penyelesaian sengketa.
  3. Hasil karya ilmiah para sarjana tentang pengadaan/pembebasan tanah.
  4. Hasil penelitian tentang pengadaan/pembebasan tanah.
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Dalam penarikan kesimpulan, penulis menggunakan metode deduktif. Metode deduktif adalah suatu metode menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menuju penulisan yang bersifat khusus.
Teknik analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
1. Teknik Kuantitatif
Teknik kuantitatif dipakai untuk menganalisis data kuantitatif yang  diperoleh dari hasil tes menulis teks berita pada siklus I dan II. Hasil tes ditulis secara persentase dengan langkah-langkah berikut ini.
a.merekap nilai yang diperoleh siswa.
b.menghitung nilai komulatif dari tugas-tugas siswa.
c. menghitung nilai rata-rata.
d.menghitung persentase.
2.Teknik kualitatif
Dipakai untuk menganalisis data kualitatif yang diperoleh dari hasil nontes. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui siswa yang mengalami kesulitan dalam menulis teks berita dengan pendekatan kontekstual komponen pemodelan. Hasil ini sebagai dasar untuk menentukan siswa yang akan diwawancarai selain hasil nilai tes. Hasil wawancara dipakai untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan menulis teks berita dengan pendekatan kontekstual komponen pemodelan. Hasil analisis tersebut sebagai dasar untuk mengetahui peningkatan keterampilan menulis teks berita

































































BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam Pembangunan Rel Kereta Api Mataram di Kabupaten Lombok Tengah berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Perpres Nomor 65 Tahun 2006

1. Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Lombok Tengah
a. Keadaan Geografis
1. Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Lombok Tengah.
Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ibu kota daerah ini ialah Praya. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39 km² dengan populasi sebanyak 745.433 jiwa
Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada disekitarnya.
 Luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah adalah 1.208,39 km² dengan batas-batas sebagai berikut:
 Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Lombok Tengah adalah:
  1. Sebelah utara : Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur
  2. Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Timur
  3. Sebelah Selatan : Samudera Selatan
  4. Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Barat

Topografi

Wilayah Lombok Tengah yang membujur dari utara ke selatan tersebut mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi mulai dari nol (0) hingga 2000 meter dari permukaan laut. Secara garis besar topografi masih mirip dengan kabupaten lain di pulau Lombok.
Jenis-jenis tanah yang ada di kawasan ini antara lain:

 Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmid dan Ferguson, Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim D dan iklim E, yaitu hujan tropis dengan musim kemarau kering, yaitu mulai bulan November sampai dengan Mei, sementara curah hujan berkisar antara 1.000 hingga 2.500 mm per tahun.
Curah hujan tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:
  1. 1000-1750 mm, biasanya terjadi di Kecamatan Janapria, Praya dan Kecamatan Praya Tengah
  2. 1000-2000 mm, biasanya terjadi di Kecamatan Janapria
  3. 1500-2500, biasanya terjadi di Kecamatan Batukliang Utara, Jonggat, Kopang, Praya Barat Daya dan Kecamatan Pringgarata

 Penduduk

Menurut data hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 745.433 jiwa (laki-laki 350.734 jiwa dan perempuan 394.699 jiwa) dengan Sex Ratio 89. Laju pertumbuhan sebesar 0.97%. Tingkat pertumbuhan merupakan kemajuan dari sebelumnya, yaitu 211% per tahun (periode 1970 - 1980) dan 1,64% per tahun (periode 1980 - 1990). Tingkat kepadatan mencapai 617 jiwa/km².

 Mata Pencaharian

Mengingat sebagian wilayah Kabupaten Lombok Tengah merupakan areal pertanian, maka sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani. Secara keseluruhan, persentase pembagian penduduk di Kabupaten Lombok Tengah dari segi mata pencaharian adalah: pertanian 72%, industri 7%, jasa 7%, perdagangan 7%, angkutan 3%, konstruksi 2% dan lainnya 2%.
2.Keadaan Umum Wilayah Kota Mataram
Nusa Tenggara Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia. Sesuai dengan namanya, provinsi ini meliputi bagian barat Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram yang berada di Pulau Lombok. Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%).
Kota Mataram merupakan kota sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Pengaruh Adat Sasak dan Adat Bali cukup mewarnai masyarakat di kota ini.

Geografi

Kota Mataram memiliki topografi wilayah berada pada ketinggian kurang dari 50 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan rentang ketinggian sejauh 9 km, terletak pada 08° 33’ - 08° 38’ Lintang Selatan dan 116° 04’ - 116° 10’ Bujur Timur. Struktur geologi Kota Mataram sebagian besar adalah jenis tanah liat dan tanah endapan tuff yang merupakan endapan alluvial yang berasal dari kegiatan Gunung Rinjani, secara visual terlihat seperti lempengan batu pecah, sedangkan di bawahnya terdapat lapisan pasir.
Suhu udara di Kota Mataram berkisar antara 20.4°C sampai dengan 32.10°C. Kelembapan maksimum 92% terjadi pada bulan Januari, April, Oktober dan November, sedangkan kelembapan minimum 67% terjadi pada bulan Oktober. Rata-rata penyinaran matahari maksimum pada bulan Februari. Sementara jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebanyak 27 hari, dengan curah hujan rata-rata mencapai 1.256,66 mm per tahun, dan jumlah hari relatif 110 hari per tahun.

Batas Wilayah

Batas-batas wilayah Kota Mataram adalah sebagai berikut:
Penduduk
Mayoritas penduduk Kota Mataram adalah Suku Sasak. Selain Suku Sasak, Mataram juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Bali, Tionghoa dan Arab.


Bahasa
Masyarakat Mataram sebagian besar menguasai bahasa Sasak sebagai bahasa asli Pulau Lombok, namun dalam pergaulan sehari-hari di tempat resmi, bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Bila di rumah atau tempat rekreasi, warga Mataram cenderung memakai bahasa Sasak, seperti misalnya: medaran yang artinya makan.

Agama
            Agama mayoritas penduduk Mataram adalah Agama Islam. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun Islam merupakan agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar adalah niat masyarakat Mataram dalam menjalankan amal ibadahnya, sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan berbudaya.

Profil Ekonomi
Komoditas primer seperti perikanan, perumahan, energi merupakan kontributor utama perekonomian.
Waktu
            Mataram 8 jam lebih cepat dari GMT.
Akomodasi
            Mataram memiliki berbagai macam akomodasi dengan harga yang bersaing. Hotel dengan standar internasional, menengah dan hotel melati hanyalah beberapa jenis akomodasi yang tersedia.
Suku bangsa
Suku Sasak merupakan suku bangsa mayoritas penghuni Kota Mataram, selain Suku Bali, Tionghoa, Melayu dan Arab. Keharmonisan kehidupan antar suku di Mataram sempat terganggu oleh peristiwa pecahnya Kerusuhan Lombok 17 Januari 2000 yang menyeret isu agama dan ras sebagai penyebab kerusuhan.
3. Penentuan Ganti Rugi Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB)
1. Hasil Penelitian
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah disahkan dan berlaku sejak 14 Oktober 2009, didalamnya terdapat larangan alihfungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai Pasal 44 ayat (1): Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Untuk kepentingan umum, pengalihfungsian lahan haruslah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam alihfungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum, sebagaimana dalam Pasal 44 ayat (3): Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
    1. dilakukan kajian kelayakan strategis;
    2. disusun rencana alih fungsi lahan;
    3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
    4. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian PanganBerkelanjutan yang dialihfungsikan.
Data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah mengenai perubahan penggunaan tanah dari Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sangatlah signifikan, dan ketika Penulis melakukan penelitian belumlah ada upaya pemulihan dengan adanya pemberian lahan pengganti bagi tanah sawah (lahan pertanian) yang dialihfungsikan untuk lahan non pertanian.
Pada tahun 2004, jumlah keseluruhan tanah sawah, tegalan, kebun campur, kolam/tambak, dan tanah kosong adalah 408,55 ha. Saat ini penggunaannya telah berubah menjadi pemukiman, industri, prasarana jasa, perdagangan dan lain-lain. Jumlah perubahan penggunaan tanah di Kabupaten Lombok Tengah semakin meningkat setiap tahun, Tahun 2005 meningkat menjadi 510,89 ha, sampai Tahun 2008 meningkat menjadi 542,46 ha.Ketentuan mengenai penyediaan lahan pengganti terhadaptanah pertanian yang digunakan untuk kepentingan umum tidaklah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan aturan dilaksanakannya pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini jelas bertentangan dengan bunyi Pasal 44 ayat (3) huruf d.
Dalam Pasal 44 ayat (3) huruf d, terdapat ketentuan mengenai penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan. Hal tersebut harus dilakukan atas dasar kesesuaian lahan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1):
Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf d dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi;
b. paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan
c. paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi. Kenyataan di lapangan, diperoleh data dari hasil wawancara dengan Kepala Desa dan masyarakat yang terkena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Rel, ganti rugi yang diperoleh berupa uang dengan nilai 2 (dua) kali NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak).
Meskipun proses musyawarah penentuan ganti rugi belumlah terlaksana secara menyeluruh terhadap tujuh kecamatan yang akan dilalui jalan Rel, namun berdasarkan data penelitian, adanya Undangundang Nomor 40 Tahun 2009 belumlah disosialisasikan, sehingga kemungkinan adanya penggantian lahan terhadap lahan pertanian sesua dengan undang-undang tersebut sangatlah kecil.



4. Pembahasan
Rencana pembangunan jalan Rel Kereta Api di Kota Mataram sebagai salah satu bagian dari pelaksanaan pembangunan jalan Rel Kereta Api  yang menghubungkan kabupaten Praya dengan anggaran dana mencapai Rp 46,77 triliun. Pengalokasian dana terpenting adalah dalam proses pembebasan tanahnya sebagai ganti rugi terhadap masyarakat pemilik tanah yang tanahnya dipakai untuk pembangunan jalan Rel Kereta Api.
Proses pemberian ganti rugi bagi masyarakat pemilik tanah di Kota Mataram dalam proyek pembangunan jalan Rel Kereta Api belum terlaksana secara maksimal, bahkan penentuan besarnya nilai ganti rugi pun belum dilakukan secara merata.
Arti ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) sebagai berikut: Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena proyek pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 bisa berupa:
 a. uang dan/atau;
 b. tanah pengganti dan/atau;
 c. pemukiman kembali;
 d. penyertaan modal (saham).
Penetapan ganti rugi terhadap pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sesuai dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, sedangkan menurut Perpres Nomor 35 Tahun 2005 P2T hanya mempunyai wewenang untuk menaksir besarnya ketetapan ganti rugi. Sebelum adanya penetapan besarnya ganti rugi, pekerjaan yang harus didahulukan adalah musyawarah antara para pemilik tanah dengan P2T.

Pasal 44 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, menyatakan: Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan;
 (2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
  1. dilakukan kajian kelayakan strategis;
  2. disusun rencana alih fungsi lahan;
  3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
  4. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa setiap Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum termasuk pembangunan Rel Kereta Api di Kota Mataram-Kabupaten Praya , akan bersinggungan dengan tanah yang telah dilekati hak, dan juga akan merubah rencana tata ruang wilayah kabupaten bersangkutan, baik dari segi penggunaan tanah maupun pemanfaatan tanah sekaligus merubah pemilikannya.
Dari sisi tata ruang yang seharusnya merupakan kawasan budidaya (pertanian) yang dilindungi sekonyong-konyong berubah menjadi non pertanian (jalan), dari sisi penggunaan tanah lokasi di Kecamatan Cakranegara, Kecamatan Kediri, Kecamatan Ubung, danKecamatan Puyung, merupakan sawah yang produktif dengan frekuensi 2 (dua) kali panen dalam satu satu tahun, dengan adanya pembangunan jalan Rel otomatis lahan sawah berkurang dan produksinya pun akan berkurang, walau ditinjau dari segi harga jual tanah akan mengalami peningkatan cukup signifikan. Yang lebih repot lagi akan terjadi pergeseran penguasaan dan pemilikan dari masyarakat petani menjadi dikuasai Negara, walau masyarakat petani dapat ganti rugi, yang menurut informasi sebesar dua kali harga NJOP.
Menurut pendapat Penulis, kenyataan ini memang tidak dapat dihindarkan, hal ini terlihat dari pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Lombok Tengah selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Namun demikian bila ditinjau dari sisi ekonomi memang masyarakat yang terkena pembangunan jalan merasa diuntungkan, disamping harga tanah jadi lebih mahal transportasi lebih lancar sehingga masyarakat dapat memanfaatkan sarana dan prasarana transportasi yang baik.
Mengenai jalan Rel Kereta Api sendiri, walaupun terdapat beberapa pendapat mengenai dapat atau tidak dikategorikan dalam kepentingan umum, namun telah terdapat kejelasan sebagaimana dalam perubahan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sehingga jalan Rel Kereta Api dapat dikategorikan dalam kepentingan umum. Dalam pembangunan jalan Rel Kereta Api khususnya di Kabupaten Lombok Tengah, jelas dilakukan oleh investor swasta, namun setelah pengerjaannya selesai proyek jalan Rel Kereta Api tersebut akan menjadi milik Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dan bukan menjadi milik investor dimana akan berorientasikan profit.
Mengkaji kedudukan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, yang mana sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, sebenarnya hanya berkedudukan secara administratif saja, sehingga keberadaannya dalam mengatur kepentingan publik (pengadaan tanah) tidaklah tepat, akan lebih baik apabila aturan pengadaan tanah dibuat dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam hal penentuan dan pemberian ganti rugi, seharusnya melihat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur
  2. ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan final musyawarah
  3. mencakup bidang tanah, bangunan, serta tanaman yang dihitung berdasarkan tolok ukur yang telah disepakati
  4. wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
Tahap musyawarah penentuan ganti rugi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan oleh Tim Penilai belumlah dilaksanakan, sehingga dalam hal penentuan ganti rugi memang belum terdapat kepastian mengenai besarnya nilai ganti rugi dan juga bentuk dari ganti rugi itu sendiri. Masih adanya tahap musyawarah tersebut sebagai rangkaian dari tahap-tahap pengadaan tanah, menjadikan kemungkinan akan diberikannya ganti rugi dalam bentuk lahan pengganti khususnya bagi tanah pertanian. Dalam hal ini diharapkan adanya penerapan Undangundang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLPPB dalam hal penentuan ganti rugi, sehingga masyarakat dapat mengambil keuntungan dari adanya perlindungan dalam ketentuan undang-undang tersebut.

 4. Hambatan-hambatan yang timbul dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan di PemudaPraya Kota Mataram dan
Upaya Penyelesaiannya

Menurut Ahmad Husein Hasibuan ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pembebasan tanah: faktor psikologis masyarakat dan faktor dana. Kendala yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah:
1) Masih ditemui sebagian pemilik/yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat bermanja-manja meminta ganti-rugi, karenanya meminta ganti-rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang bersedia menerima ganti-rugi yang dimusyawarahkan;
2) Masih ditemui pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan  tanahnya adalah mulia dan sakral, sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti-rugi, karenanya mereka bertahan meminta ganti-rugi yang sangat tinggi;
3) Kurangnya kesadaran pemilik/yang menguasai tanah tentang pantasnya
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Selanjutnya, kendala yang merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana pembebasan tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan harga wajar menurut pasar umum setempat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Dan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
Kendala-kendala tersebut di atas merupakan beberapa permasalahan pembebasan tanah (sekarang pelepasan atau penyerahan hak) yang intinya terletak pada besarnya ganti kerugian. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai tanah menginginkan besarnya ganti-kerugian sesuai dengan harga pasar setempat, sementara di sisi lain masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia untuk pembebasan tanah.
Tanah merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :
“Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
Berdasarkan hasil penelitian, tim yang dibentuk hanya dibentuk secara sepihak oleh Pemerintah Kotamadya Mataram melalui SK Walikotamadya tanpa melibatkan pihak terkait lainnya, termasuk warga sendiri. Dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian juga demikian, ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dalam proyek ini termasuk dari pihak warga sendiri.
Salah satu contohnya warga yang “dekat” dengan Kabupaten Lombok Tengah mendapatkan ganti kerugian lebih besar dari pada warga yang tidak “dekat”, padahal tanahnya yang terkena proyek tersebut lebih besar. Berdasarkan hal tersebut wajar apabila banyak warga yang tidak menerima pemberian ganti kerugian dari pemerintah. Di dalam kalangan warga sendiri terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok yang menerima ganti kerugian dan kelompok yang menolak ganti kerugian.
Berdasarkan hasil penelitian, hambatan-hambatan yang timbul adalah sebagai berikut:
1. Hambatan yang datang dari Pemerintah,
a. Kekurangan dana:
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Mataram dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi tanahnya belum selesai:
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut warga mereka merasa dibohongi oleh pihak Lombo Tengah yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati.
Dari kedua hambatan tersebut, diketahui bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan raya PemudaPraya adalah mengenai besarnya nilai ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah. Sehingga sampai penelitian ini dilakukan masih ada beberapa warga, khususnya di Kelurahan Pemuda belum mengambil uang ganti kerugian ditambah tanah pengganti yang dititipkan di Kota Mataram.
Pihak Pemkot mengatakan bahwa pelaksanaan pembebasan tanahnya sudah selesai karena ganti rugi sudah dibayarkan dengan dititipkan pada Kabupaten Lombok Tengah. Tetapi dalam kenyataannya masih ada warga yang belum mau mengambil uang ganti rugi tersebut, sehingga pada saat pelaksanaan pembebasan tanah mereka terhalang oleh pihak/warga yang tidak mengambil uang ganti rugi.
Pada masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi semua pihak.
Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah Kotamadya Mataram melalui Tim yang dibentuknya lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hokum, karena Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisonal yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan,yang menurut warga, mereka mengaku telah mempunyai bukti-bukti yang cukup kuat untuk mengajukan gugatan ke PTUN, akan tetapi dalam hal ini responden yang tidak mau disebutkan namanya, tidak mau mengatakan bukti-bukti apa.




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
            Pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah salah satu kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam upaya membangun fasilitas untuk masyarakat.        
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55/1993, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan umum, dibatasi:
1. dilakukan oleh pemerintah,
2. dimiliki oleh pemerintah,
3. tidak untuk mencari keuntungan
Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa :
“kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:
a)      Jalan umum, saluran pembuangan air;
b)      Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c)      Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d)      Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;
e)      Peribadatan;
f)       Pendidikan atau sekolahan;
g)      Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h)      Fasilitas Pemakaman Umum;
i)        Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar;
j)        Pos dan Telekomunikasi;
k)      Sarana Olah Raga;
l)        Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
m)   Kantor Pemerintah;
n) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia      
Tata cara permohonan hak atas tanah dalam hal ini Tanah Negara diawali dengan syarat-syarat bagi pemohon. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan menentukan bahwa :
Pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan hak milik atas tanah negara secara tertulis, yang diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya melikputi letak tanah yang bersangkutan.
Dalam permohonan tersebut memuat keterangan mengenai pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik serta keterangan lainnya berupa keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon serta keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan hak tersebut diajukan kepada Menteri Negara Agraria melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan maka :
  1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
  2. Mencatat dalam formulir isian.
  3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian
  4. Memberitahukan kepada pemohon.
      Untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat dan berkas permohonan hak atas tanah yang telah lengkap dan telah diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang dimohon kemudian dilakukan pendaftaran haknya ke Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda lahirnya hak atas tanah tersebut.
Hambatan atau kendala yang sering ditemui dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum ada dua, yaitu faktor psikologis dan faktor dana.
Kendala yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah:
1) Masih ditemui sebagian pemilik/yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat bermanja-manja meminta ganti-rugi, karenanya meminta ganti-rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang bersedia menerima ganti-rugi yang dimusyawarahkan;
2) Masih ditemui pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan  tanahnya adalah mulia dan sakral, sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti-rugi, karenanya mereka bertahan meminta ganti-rugi yang sangat tinggi;
3) Kurangnya kesadaran pemilik/yang menguasai tanah tentang pantasnya
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
Kendala yang merupakan faktor dana :
kendala yang merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana pembebasan tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan harga wajar menurut pasar umum setempat.
Selain hambatan di atas datang pula hambatan yang berasal dari pemerintah dan berasal dari masyarakat itu sendiri, yaitu :
1. Hambatan yang datang dari Pemerintah,
a. Kekurangan dana:
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Mataram dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi tanahnya belum selesai:
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang timbul dari warga
Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut warga mereka merasa dibohongi oleh pihak Lombo Tengah yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati.

B. Saran

            Mengingat begitu pentingnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum maka demi kelancaran hal tersebut kami ingin memberi masukan dan saran. Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat selalu mendukung program pemerintah begitupun dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita harus memiliki kesadaran untuk lebih mengedepankan kepentingan umum dari kepentingan pribadi. Begitu juga dengan pihak pemerintah. Demi kelancaran pengadaan tanah tersebut kita harus melaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan. Jangan sekali-kali mencoba untuk mengambil keuntungan dari progaram pengadaan tanah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar