BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tanah
merupakan salah satu faktor penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Manusia hidup dan melakukan berbagai aktivitas kesehariannya di atas tanah
serta memperoleh bahan pangan dengan memanfaatkan tanah. Bahkan bagi Negara
Indonesia tanah merupakan salah satu modal utama bagi kelancaran pembangunan.
Menurut Bambang Tri Cahyo, tanah mempunyai nilai yang sangat penting karena
mempunyai 3 (tiga) komponen yang melekat, yaitu :
- Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik
atau pemakainya, sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk
menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai nilai produksi dan
jasa.
- Komponen penting kedua adalah
kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi
karena permintaannya, tapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan
penawarannya.
- Komponen ketiga adalah tanah
mempunyai nilai ekonomi, suatu barang (dalam hal ini tanah) harus layak
untuk dimiliki dan ditransfer.
Tanah merupakan harta
kekayaan yang bernilai tinggi karena nilai jualnya yang akan selalu bertambah
akibat kebutuhan terhadap tanah yang semakin tinggi sedangkan jumlah tanah
tidak pernah bertambah. Disadari atau tidak, tanah sebagai benda yang bersifat
permanen (tidak dapat bertambah) banyak menimbulkan masalah jika dihubungkan
dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan masalah pembangunan.Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan pemerintah telah berusaha melalui jalur yang sah
yakni pengadaan tanah maupun pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pelaksanaan pengadaan tanah merupakan
persoalan yang kompleks karena terdapat berbagai tahapan dan proses yang harus
dilalui serta adanya kepentingan pihak-pihak yang saling bertentangan.
Persoalan perolehan tanah milik masyarakat untuk keperluan pembangunan guna
kepentingan umum menjadi suatu persoalan yang cukup rumit. Kebutuhan tanah baik
oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah tanpa diikuti dengan
pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial.
Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk
oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 6 ayat (1)). Tugas dari Panitia
Pengadaan Tanah berdasarkan Pasal 8 yaitu:
- Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan
tanah yang hak atas tanahnya akan dilepaskan atau diserahkan;
- Mengadakan penelitian mengenai status hukum
tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang
mendukungnya;
- Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti
kerugian atas tanah yang atas haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- Memberi penjelasan atau penyuluhan kepada
pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah
tersebut;
- Mengadakan musyawarah dengan para pemegang
hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam
rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
- Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang
ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang ada di atasnya;
- Membuat berita acara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
Pelaksanaan pengadaan
tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum dilakukan dengan musyawarah yang
dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Namun jika jumlah pemegang
hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif
maka musyawarah akan dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan
oleh para pemegang hak atas tanah yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.
1.2. Rumusan Masalah.
1.2.1.
Mengetahui Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ?
1.2.2.
Memberikan Deskripsi tentang Kriterian Kepentingan Umum ?
1.2.3.
Menjelaskan Mengenai Proses Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ?
1.2.4.
Menjelaskan Hambatan dan Kedaulatan dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
?
1.3. Tujuan Penelitian.
Penelitian ilmiah dilakukan untuk memberikan
masalah hukum tertentu dan berusaha memahami secara lebih mendalam. Berdasarkan
permasalahan tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui mekanisme pengadaan tanah untuk pembangunan Rel Kereta Api
di Kota Mataram- Kabupaten Lombok Tengah menurut Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
2.
Mengetahui cara penentuan ganti kerugian terhadap tanah pertanian
setelah terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
1.4. Manfaat Penelitian
- Dapat memberikan masukan bagi ilmu
pengetahuan khususnya pengembangan ilmu hukum dalam bidang hukum agraria.
- Dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi masyarakat maupunpemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada
jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
1.5. Metode Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan
atau gejala-gejala lainya. Untuk mengetahui tentang gejala di lapangan dengan
didasari judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian
dan kegunaan penelitian penyusun menggunakan metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang
diteliti dan
dipelajari sebagai suatu yang utuh.
1. Lokasi Penelitian dan Responden.
Lokasi penelitian adalah Kota Mataram dan
Kabupaten Lombok Tengah. Dua Kabupaten/Kota tersebut dijadikan satu lokasi
proyek yang mana pada lokasi tersebut diadakan pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum dimaksud. Pada dua Kabupaten/Kota itu hanya dijadikan satu lokasi karena lokasi
yang terkena kegiatan pembangunan sarana kepentingan umum dimaksud merupakan
satu kesatuan yang terletak pada batas wilayah dua Kabupaten/Kota tersebut.
2. Alat Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan
terdiri dari data primer dan data sekunder. Serta studi kepustakaan Data.
Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, sedangkan data
sekunder antara lain mencakup dokumen resmi,, surat-surat dan atau
warkah-warkah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum.
a. Data Primer :
Untuk memperoleh data, dilakukan dengan mempergunakan alat sebagai
berikut :
- Kuesioner yaitu dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka dan tertutup atau kombinasi
keduanya, yang ditujukan kepada responden.
- Wawancara, yaitu mengadakan tanya
jawab/wawancara dengan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu.
b. Data Sekunder :
Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen
resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.6
c. Studi Kepustakaan :
Merupakan cara pengumpulan data yang di lakukan
melalui membaca bukua buku literature ,peraturan perundang –undangan yang
berlaku serta jurnal hukum dan artikel yang di ambil melalui media Cetak dan
elektronik berkaitan dengan masalah yang di teliti.
d. Analisis Data.
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif, yaitu analisis dengan cara
menggambarkan dan mengkaji data kepustakaan dan data lapangan dalam bentuk
pernyataan dengan teliti dan sistematis, dengan menggunakan metode deduktif,
yaitu dibahas masalah-masalah yang sifatnya umum menuju pada hal-hal yang
bersifat khusus.
1.6. Sistematika Penelitian :
Untuk memberikan gambaran secara garis besar
mengenai penyusunan penulisan hukum penulis akan sertakan sistematika penulisan
skripsi ini Adapun Susunan Penulisan penelitian tersistematik ini Sebagai
Berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
- Perumusan Masalah
- Pembatasan Masalah
- Tujuan Penelitian
- Manfaat penelitian
- Metode Penelitian
- Sistematka Skripsi
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
1.`Tinjuan Umum Tentang Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umun
- Deskripsi Objek Penelitian
- Keadaan Wilyah
- Penggunaan Tanah
- Status Hak atas Tanah
- Keadaan Masyarakat
2. Tinjauan Khusus tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dan Kepentingan
Umum
- Pengertian pengadaaan Tanah
- Tata cara pengadaan Tanah
- Pengertian kepentingan Umum
- Azaz Musyawarah
- Ganti rugi kepada bekas pemilik hak
atas Tanah
- Dasar perhitungan Ganti kerugian
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Sekilas Objek Penelitian
- Letak Geografis
- Keadaan wilayah
- Penggunaan Tanah
2. Hasil Penelitian tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kota Surakarta
- Proses menentukan Ganti rugi Tanah
dan apakah dasar yang dipakai Dalam Penghitungan ganti rugi tanah
- Proses Pemberian Ganti rugi Tanah
antara Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak atas Tanah
3. Pembahasan Mengenai Proses pelaksanaan Pengadaan Tanah
- Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan
Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kota
Surakarta
- Proses cara menentukan Ganti rugi
Tanah dan apakah dasar yang dipakai Dalam Penghitungan ganti rugi tanah
- Proses mekanisme Pemberian Ganti rugi
Tanah antara Pemerintah yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak atas Tanah.
BAB IV : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
- Kesimpulan
- Saran
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Hak Atas Tanah.
DEFINISI TANAH, FUNGSI DAN PROFIL TANAH
Definisi Tanah
1. Pendekatan Geologi
Tanah: adalah lapisan permukaan
bumi yang berasal dari bebatuan yang telah
mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit(lapisan partikel halus).
mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit(lapisan partikel halus).
2. Pendekatan Pedologi
(Dokuchaev 1870)
Pendekatan Ilmu Tanah sebagai
Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo =i gumpal tanah.
Tanah: adalah bahan padat
(mineral atau organik) yang terletak dipermukaan bumi,
yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktorfaktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.
yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktorfaktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.
3.
Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris)
Kata Edaphos = bahan tanah
subur.
Tanah adalah media tumbuh
tanaman
Perbedaan
Pedologis dan Edaphologis
1.
Kajian Pedologis:
Mengkaji tanah berdasarkan
dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau
berdasarkan Pengetahuan Alam Murni.
berdasarkan Pengetahuan Alam Murni.
Kajian ini meliputi: Fisika
Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah, Morfologi Tanah,
Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu
Ukur Tanah.
Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu
Ukur Tanah.
2.
Kajian Edaphologis:
Mengkaji tanah berdasarkan
peranannya sebagai media tumbuh tanaman.
Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi,
Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah.
Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi,
Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah.
Paduan antara
Pedologis dan Edaphologis:
Meliputi kajian: Pengelolaan
Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata Guna
Lahan,
Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Definisi
Tanah (Berdasarkan Pengertian yang Menyeluruh)
Definisi Tanah
Definisi
tanah secara mendasar dikelompokkan dalam tiga definisi, yaitu:
(1)
Berdasarkan pandangan ahli geologi
(2)
Berdasarkan pandangan ahli ilmu alam murni
(3)
Berdasarkan pandangan ilmu pertanian.
Ad 1.
Menurut ahli geologi (berdasarkan pendekatan Geologis)
Tanah didefiniskan sebagai lapisan
permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang
telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk
regolit (lapisan partikel halus).
telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk
regolit (lapisan partikel halus).
Ad 2.
Menurut Ahli Ilmu Alam Murni (berdasarkan pendekatan Pedologi)
Tanah didefinisikan sebagai bahan
padat (baik berupa mineral maupun
organik) yang
terletak dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: bahan induk, iklim, organisme, topografi, dan
waktu.
terletak dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: bahan induk, iklim, organisme, topografi, dan
waktu.
Ad 3. Menurut Ahli Pertanian
(berdasarkan pendekatan Edaphologi)
Tanah
didefinisikan sebagai media tempat tumbuh tanaman.
Selain
ketiga definisi diatas, definisi tanah yang lebih rinci diungkapkan ahli ilmu
tanah sebagai berikut:
tanah sebagai berikut:
"Tanah adalah lapisan permukaan
bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat
tumbuh dan berkembangnya perakaran sebagai penopang tumbuh tegaknya tanaman
dan menyuplai kebutuhan air dan hara ke akar tanaman; secara kimiawi berfungsi
sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (baik berupa senyawa organik maupun
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial, seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe,
Mn, B, Cl); dan secara biologis berfungsi sebagai habitat dari organisme tanah yang
turut berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif bagi
tanaman; yang ketiganya (fisik, kimiawi, dan biologi) secara integral mampu
menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik
tanaman pangan, tanaman sayur-sayuran, tanaman hortikultura, tanaman obat-obatan,
tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan.
tumbuh dan berkembangnya perakaran sebagai penopang tumbuh tegaknya tanaman
dan menyuplai kebutuhan air dan hara ke akar tanaman; secara kimiawi berfungsi
sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (baik berupa senyawa organik maupun
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial, seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe,
Mn, B, Cl); dan secara biologis berfungsi sebagai habitat dari organisme tanah yang
turut berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif bagi
tanaman; yang ketiganya (fisik, kimiawi, dan biologi) secara integral mampu
menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik
tanaman pangan, tanaman sayur-sayuran, tanaman hortikultura, tanaman obat-obatan,
tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan.
Fungsi Tanah
1.Tempat
tumbuh dan berkembangnya perakaran
2.Penyedia
kebutuhan primer tanaman (air, udara, dan unsur-unsur hara)
3.Penyedia
kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat pemacu tumbuh: hormon, vitamin,
dan
asam-asam organik; antibiotik dan toksin anti hama; enzim yang dapat
meningkatkan
kesediaan hara)
4.Sebagai
habitat biota tanah, baik yang berdampak positif karena terlibat langsung
atau tak
langsung dalam penyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman
tersebut,
maupun yang berdampak negatif karena merupakan hama & penyakit
tanaman.
tanaman.
Dua
Pemahaman Penting tentang Tanah:
1.Tanah
sebagai tempat tumbuh dan penyedia kebutuhan tanaman
2.Tanah juga
berfungsi sebagai pelindung tanaman dari serangan hama & penyakitdan dampak
negatif pestisida maupun limbah industri yang berbahaya.
Profil Tanah
Profil Tanah
adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke batuan
induk tanah.
induk tanah.
Profil dari
tanah yang berkembang lanjut biasanya memiliki horison-horison sbb:
O –A – E – B
- C – R.
Solum Tanah
terdiri dari: O – A – E – B
Lapisan Tanah Atas meliputi: O – A
Lapisan Tanah Bawah : E – B
Keterangan:
O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa)
A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap
O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa)
A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap
E : Horison
mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat,
Fe dan Al)
rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral resisten
lainnya
tinggi, berwarna terang
B : Horison
illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci
dari harison
diatasnya (akumulasi bahan eluvial).
C : Lapisan
yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau belum
terjadi perubahan
terjadi perubahan
R : Bahan
Induk tanah
Kegunaan
Profil Tanah
(1) untuk
mengetahui kedalaman lapisan olah (Lapisan Tanah Atas = O - A) dan
solum tanah (O – A – E – B)
solum tanah (O – A – E – B)
(2)
Kelengkapan atau differensiasi horison pada profil
(3) Warna Tanah
\Komponen Tanah 4 komponen
penyusun tanah :
(1) Bahan Padatan berupa bahan
mineral
(2) Bahan Padatan berupa bahan
organik
(3) Air
(4) Udara
1.Pengertian Hak Atas
Tanah.
Hak tanah tanah merupakan
hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau
tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.
Dengan adanya Hak
Menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu
bahwa “atas dasar ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
masyarakat”.
Atas dasar ketentuan
tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4
ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:
“atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum”.
Sedangkan
dalam ayat (2) dinyakatan bahwa :
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum
yang lebih tinggi“.
Berdasarkan
bunyi Pasal tersebut, maka negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:
- Hak Milik;
- Hak Guna Usaha;
- Hak Guna Bangunan;
- Hak Pakai;
- Hak Sewa;
- Hak Membuka Tanah;
- Hak Memungut Hasil Hutan;
- Hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang
serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.
2. Macam-macam Hak Atas Tanah
A. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap
Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 16 yaitu :
1. Hak Milik (HM)
Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat
fungsi sosial. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat
dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya.
Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa
hak tersebut merupakan hak mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sebagai hak eigendom seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. Sifat
demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap
hak.
2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan PP No.40 Tahun 1996 Pasal 8
ayat (1) Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat
diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan
perusahaannya.
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 HGB diatur dalam Pasal 19 s/d
Pasal 38. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan
jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya dengan
mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya.
4. Hak Pakai (HP)
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
5. Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewanya.
B. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara
Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur
dalam Pasal 53 UUPA. Hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat
sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut
disebabkan karena hak tersebut bertentangan dengan asas yang terdapat dalam
Pasal 10 UUPA yaitu,
“seseorang yang mempunyai suatu hak atas
tanah pertanian diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan, namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum
dihapus”.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara
adalah :
1. Hak
gadai tanah/jual gadai/jual sende.
Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah
menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang
yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut
dengan memberikan uang yang besarnya sama.
2. Hak
Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau
badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut
perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.
3. Hak
Sewa Tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah
pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah
dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama
waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.
4. Hak
menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang
lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya
tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya
sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika yang bersangkutan
memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah
pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.
3.
Kewajiban-kewajiban yang terkandung Dalam Hak Atas Tanah
Hak atas tanah memberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan oleh pemegang hak atas tanah tersebut.
Menurut Pasal 4 ayat (2) UUPA, hak atas tanah memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula bumi, air dan ruang angkasa
yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan menggunakan tanah dalam batas-batas menurut undang-undang
dan peraturan hukum lainnya.
Hak atas tanah, selain mengandung kewenangan juga
mengandung kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan. Kewajiban tersebut
antara lain :
- Adanya ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
- Adanya ketentuan Pasal 15 UUPA,
yaitu kewajiban memelihara tanah dan mencegah kerusakannya.
- Khusus untuk tanah pertanian adanya
ketentuan Pasal 10 UUPA yang memuat asas bahwa tanah pertanian wajib
dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif.
Dalam menggunakan hak atas tanah juga harus
diperhatikan pula pembatasan-pembatasan baik yang bersifat umum (di luar)
maupun dari haknya sendiri (dalam). Pembatasan umum antara lain: tidak boleh
merugikan atau mengganggu pihak lain, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah
misalnya adanya planning penggunaan tanah atau land use planning,
ketentuan pemerintah daerah tentang rooilyn garis sempadan. Sedangkan
pembatasan dari dalam terdapat pada masing-masing hak yang bersangkutan yang
disesuaikan dengan ciri-ciri dan sifat tanah tersebut, misalnya Hak Guna
Bangunan maka tanah tersebut hanya boleh untuk mendirikan bangunan dan tidak
boleh dipergunakan untuk pertanian.
4. Fungsi
Sosial Hak Atas Tanah
Tanah merupakan unsur penting dalam setiap
kegiatan pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan
adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam
kelangsungan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa :
“Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai
oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan
landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara
dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi
terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi
seluruh rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, maka telah dijabarkan dalam Pasal
2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa :
“ Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi,
air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat”.
Lebih lanjut
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai berikut :
“Hak
menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
- mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang
angkasa tersebut;
- menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa;
- menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi,air, dan ruang angkasa”.
Hal tersebut bertujuan agar segala sesuatu yang
telah diatur tersebut dapat mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat.
Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan tersebut mengenai seluruh bumi, air,
dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang
tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu
hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi
kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah
batas kekuasaan Negara tersebut.4 Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, menyatakan
bahwa :
“Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum”.
Isi dari Pasal 4 ayat (1) tersebut dapat
disimpulkan bahwa Negara mempunyai wewenang memberikan hak atas tanah kepada
seseorang atau badan hukum. Pada dasarnya setiap Hak Atas Tanah baik secara
langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, dimana Hak Bangsa
tersebut merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi
sosial.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa :
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya,
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.
Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi
pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya,
dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus
meperhatikan kepentingan masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan
dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh
kepentingan masyarakat atau Negara, dan diantara dua kepentingan tersebut
haruslah seimbang.
2.2. Cara
Memperoleh Tanah
1. Tanah
Negara
A.
Pengertian Tanah Negara
Pemberian hak atas tanah adalah pemberian hak
atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa
orang bersama-sama atau suatu badan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang
pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas
tanah negara, pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan
suatu hak atas tanah negara termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan
pembaharuan hak.
Sedangkan tanah negara adalah tanah yang tidak
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
B. Dasar
Hukum Cara Memperoleh Tanah Negara
Kewenangan pemberian hak atas tanah dilaksananakan
oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sesuai dengan ketentuan Pasal 13
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999 menyatakan bahwa
:
“Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menetapkan pemberian hak atas tanah
yang diberikan secara umum”,
sedangkan
Pasal 14 menyatakan :
“Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional memberikan keputusan mengenai pemberian dan
pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala
kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten / Kotamadia sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III”.
Dasar hukum tata cara memperoleh tanah Negara:
a. Permeneg Agraria/Kepala BPN No.9/1999 tentang tata cara pemberian dan
pembatalan hak atas tanah dan hak pengelolaan, yang mencabut Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.5/1973 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian
hak atas tanah.
b. Permeneg Agraria/Kepala BPN No.3/1999 tentang pelimpahan kewenangan
dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, yang mencabut
Peraturan MEnteri Dalam Negeri No.6/1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian
hak atas tanah.
C. Tata
Cara/Prosedur Permohonan Hak Atas Tanah Negara
Tata cara permohonan hak atas tanah dalam hal ini
Tanah Negara diawali dengan syarat-syarat bagi pemohon. Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan
hak atas tanah negara dan hak pengelolaan menentukan bahwa :
Pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan hak
milik atas tanah negara secara tertulis, yang diajukan kepada Menteri melalui
Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya melikputi letak tanah yang
bersangkutan.
Dalam permohonan tersebut memuat keterangan
mengenai pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan
data fisik serta keterangan lainnya berupa keterangan mengenai jumlah bidang, luas
dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang
dimohon serta keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan hak tersebut
diajukan kepada Menteri Negara Agraria melalui Kepala Kantor Pertanahan yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Setelah berkas
permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan maka :
- Memeriksa dan meneliti kelengkapan
data yuridis dan data fisik.
- Mencatat dalam formulir isian.
- Memberikan tanda terima berkas
permohonan sesuai formulir isian
- Memberitahukan kepada pemohon.
Untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan
permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat dan berkas permohonan hak atas tanah
yang telah lengkap dan telah diproses sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah yang dimohon kemudian dilakukan pendaftaran haknya ke Kantor Pertanahan
yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, untuk diterbitkan
sertifikat hak atas tanah sebagai tanda lahirnya hak atas tanah tersebut.
D.
Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah
Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas
tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang
membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan
hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar
musyawarah.
Pembebasan
tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai
tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan hukum di atas
mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah
dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang
luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah,
dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain. Semua
hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara. Penyerahan
sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini sesuai
dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Hak milik hapus bila:
a.
tanahnya jatuh kepada Negara:
- karena pencabutan
hak berdasarkan Pasal 18
- karena penyerahan
dengan sukarela oleh pemiliknya
- karena
diterlantarkan
- karena ketentuan
Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2
b.
tanahnya musnah.”
Acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan
untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum
maupun untuk kepentingan swasta.
E.
Pemindahan Hak Atas Tanah
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum
pemindahan hakhak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak
lain.Pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara jual beli,
hibah, tukar menukar, pemasukan dalam
perusahaan, dan lain sebagainya. Cara memperoleh tanah dengan pemindahan hak
atas tanah ditempuh apabila yang membutuhkan tanah memenuhi persyaratan sebagai
pemegang hak atas tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, yaitu apabila
tanah yang tersedia adalah tanah hak lainnya yang berstatus HM, HGU, HGB, dan
Hak Pakai maka dapat digunakan cara perolehan tanahnya melalui pemindahan hak
misalnya dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan lain sebagainya.
F.
Pencabutan Hak Atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah
pengambilalihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang
mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan
sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.
Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah
merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah
tidak berhasil.
Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah
diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang”
“Undang-undang” yang dimaksud dalam Pasal 18
tersebut adalah UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dengan peraturan pelaksanaan yaitu PP No.
39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi
Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di
Atasnya, dan Inpres No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 ini merupakan
pelaksanaan dari asas dalam Pasal 6 UUPA yaitu bahwa hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial.
2. Tanah
Hak
A.
Pengertian Tanah Hak
Tanah Hak adalah tanah yang sudah dilekati atau
dibebani dengan suatu hak tertentu. Tanah Hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai.
B. Cara
Memperoleh Tanah Hak
Tanah Hak dapat diperoleh dengan cara pelepasan
hak atas tanah/ pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan pencabutan hak
atas tanah.
2.3.
Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
1. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan,tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun
pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36
tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Banyak pendapat baik dari para ilmuwan maupun
arti secara tektual dalam aturan maupun secara ilmiah. Arti Pembebasan/Pengadaan
tanah secara tektual yang tercantum dalam
a. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993:
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadaan
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Pasal 1 ayat (2) Pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas
tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musayawarah.
b. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005:
Pasal 1 butir (3) menyebutkan bahwa Pengadaan
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Pasal 1 butir (6) Pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas
tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan uang ganti rugi atas
dasar musayawarah.
c. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006:
Pasal 1 menyebutkan Pengadaan adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda benda yang
berkaitan dengan tanah.
Pasal 2 ayat (1) pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Ayat (2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh para pihak-pihak yang bersangkutan.
2.
Pengertian Kepentingan Umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa
kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau
kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut
terlalu umum dan tidak ada batasannya.
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas
Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan
Nusantara. UUPA dan UU No. 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan
dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
tersebut harus memenuhi
peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan
oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.
3.
Pengertian Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta adalah
kepentingan yang diperuntukkan memperoleh keuntungan semata, sehingga
peruntukan dan kemanfaatannya hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu bukan
masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan elit, kawasan industri,
pariwisata, lapangan golf dan peruntukan lainnya yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan semata. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat
dari pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan saja.
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta dilakukan secara langsung, antara
pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah sesuai kesepakatan bersama.
4. Dasar
Hukum Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Sebelum berlakunya Keppres No.55/Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, maka landasan yuridis yang digunakan dalam
pengadaan tanah adalah:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15/1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan
Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1985 tentang Tata Cara
Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan. ketiga
peraturan di atas dicabut dengan:
4. Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Keppres ini juga telah dicabut.
5. Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Keppres No.55/1993.
6. Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Perpres No.36/2005.
5. Keppres
No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
A.
Pengertian Kepentingan Umum
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres
No. 55/1993, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan untuk
seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian dalam Pasal
5 ayat (1), dinyatakan bahwa:
“pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden
ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan…………….”
Sehingga menurut Keppres No.55/1993, kriteria
kepentingan umum, dibatasi:
1. dilakukan
oleh pemerintah,
2. dimiliki
oleh pemerintah,
3. tidak
untuk mencari keuntungan.
B.
Jenis-jenis Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dalam Pasal 5
ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa :
“kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah
serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara
lain:
a)
Jalan umum, saluran pembuangan air;
b)
Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c)
Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d)
Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;
e)
Peribadatan;
f)
Pendidikan atau sekolahan;
g)
Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h)
Fasilitas Pemakaman Umum;
i)
Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar;
j)
Pos dan Telekomunikasi;
k)
Sarana Olah Raga;
l)
Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
m) Kantor Pemerintah;
n)
Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
C.
Jenis-jenis dan Bentuk Ganti Kerugian
Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti
kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan
untuk pembanguan bagi kepentingan umum adalah :
a)
uang;
b)
tanah pengganti;
c)
pemukiman kembali;
d)
gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c;
e)
bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap
tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau
bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
D. Panitia Pengadaan Tanah
Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah
yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat
(2) menyatakan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten
atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah
yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya
dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi yang
diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili
instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.
6.
Penyelesaian Sengketa Pertanahan
A.
Pengertian Sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa
adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau
perbantahan. Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan konflik itu sendiri
adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi perselisihan itu hanya dipendam
dan tidak diperlihatkan dan apabila perselisihan itu diberitahukan kepada pihak
lain maka akan menjadi sengketa.
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal
dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah,
prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Sengketa akan berakhir kepada tujuan bahwa ada
pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang
disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa
tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan
memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.
B. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu melalui instansi formal yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa
yaitu badan peradilan, dan penyelesain sengketa di luar badan peradilan atau
yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR).
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Badan Peradilan bertugas menerima, memeriksa dan
memutus setiap perkara atau sengketa yang muncul di masyarakat. Asas yang
dianut dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah cepat, sederhana dan biaya murah.
Meningkatnya jumlah sengketa yang terjadi di
masyarakat semakin menambah beban yang harus diselesaikan oleh badan peradilan sehingga
asas penyelesaian sengketa secara cepat, sederhana dan biaya murah tidak dapat
diterapkan sepenuhnya. Oleh karena itu, muncul kritik terhadap penyelesaian
sengketa melalui pengadilan yang terkesan mahal dan berlarut-larut dalam
pemeriksaan dan penyelesaiannya. Kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian
sengketa melalui pengadilan, yaitu memakan waktu lama, biaya tinggi dan
berlarut-larut dalam pemeriksaan dan penyelesaiannya, kurang memberikan
kesempatan
dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Adanya kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian
sengketa melalui pengadilan menyebabkan para pencari keadilan mencari
alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Pada umumnya arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain karena penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan cepat, murah, dijamin kerahasiaannya, para pihak yang
bersengketa dapatmemilih arbiter yang menurut keyakinan mereka mempunyai
pengetahuan,pengalaman dan keahlian yang cukup mengenai masalah
yangdisengketakan, para pihak dapat menentukan pilihan hukum, proses dantempat
penyelenggaraan arbitrase dan keputusannya bersifat final.
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan berdasarkanPasal 1 butir
10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, alternatif enyelesaian sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Di bawah ini akan
diuraikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui alternative dispute
resolution, yaitu :
1. Negosiasi
Negosiasi merupakan upaya penyelesaian sengketa
yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama. Dalam
hal ini, para pihak berhadapan langsung, berunding dan bermusyawarah
mendiskusikan persoalan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling
terbuka. Dalam negosiasi terjadi tawar menawar antar para pihak. Posisi tawar
menawar ini akan mempengaruhi jalannya negosiasi sehingga kedua belah pihak
harus mengetahui kemampuan masing- masing. Oleh karena itu untuk melakukan negosiasi
yang baik dan berhasil diperlukan strategi atau teknik negosiasi.
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa
alternatif dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses
penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau
berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan
perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai
penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa.
Hasil akhir dari pranata penyelesaian sengketa
alternatif dalam bentuk mediasi adalah tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa
alternatif yang melibatkan pihak ketiga, dimana pihak ketiga yang
diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah pihak yang secara
profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya.
Konsiliator dalam proses konsiliasi mempunyai
peran yang cukup berarti karena konsiliator berkewajiban untuk
menyampaikanpendapat mengenai duduk persoalan dari sengketa yang
dihadapi.Meskipun konsiliator mempunyai hak dan wewenang untuk menyampaikan
pendapatnya secara terbuka dan tidak memihak kepada salah satu pihak,
konsiliator tidak berhak membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama
para pihak. Oleh karena itu, hasil akhir dalam proses konsiliasi akan diambil
sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk
kesepakatan di antara mereka.
4. Arbitrase
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian sengketa, yang dimaksud
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa
alternatif melalui arbitrase melibatkan pengambilan keputusan oleh satu atau
lebih hakim swasta yang disebut arbiter, dimana arbiter berperan aktif
sebagaimana halnya seorang hakim.
Perjanjian arbitrase diajukan oleh pihak-pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu. Arbiter yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
berkewajiban untuk memutuskan sengketa yang disampaikan kepadanya secara
profesional, tanpa memihak menurut kesepakan yang telah dicapai di antara para
pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar
hukum mengenai penyelesaian sengketa hukum atas tanah, yaitu Pasal 30 PP
No.24/1997, Pasal 12 dan Pasal 14 Permenag Agraria/Kepala BPN No. 3/1999, serta
dasar operasional dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No: 72 Tahun 1981 tentang
Susunan Organisasi dan Tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor Agraria
Kabupaten/Kotamadya, khususnya Pasal 35 Mengenai Pembentukan Seksi Bimbingan
Teknis dan Penyelesaian Hukum yang bertugas memberikan bimbingan teknis di
bidang pengurusan hak-hak tanah dan menyelesaikan sengketa hukum yang
berhubungan dengan hak-hak tanah.
Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian
sengketa hukum atas tanah belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan
hak atas tanah (Permendagri No.5/1973), oleh karena itu penyelesaian kasus
tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa pengalaman,
pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar.
Mekanisme penanganan sengketa hukum atas tanah
lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut:
a. Pengaduan
Dalam pengaduan berisi hal-hal dan peristiwa yang
menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang
disengketakan dengan dilampiri bukti-bukti serta mohon penyelesaian dengan
disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya sehingga
tidak merugikan pemohon.
b. Penelitian
Mekanisme berikutnya setelah pengaduan adalah
penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi maupun hasil penelitian
fisik di lapangan mengenai penguasaanya. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan
sementara bahwa apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses
lebih lanjut.
c. Pencegahan Mutasi
Tindak Lanjut dari penyelesaian sengketa adalah
atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor
Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah
pengamanan berupa pencegahan untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan
atau mutasi.
Tujuan dilakukannya pencegahan atau mutasi adalah
menghentikan untuk sementara waktu segala bentuk perubahan terhadap tanah yang
disengketakan.
d. Musyawarah
Pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa
melalui musyawarah sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa, dan biasanya
menempatkan instansi pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal
Agraria untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa secara
kekeluargaan.
e. Penyelesaian Melalui Pengadilan
Apabila usaha melalui jalan musyawarah tidak
mendatangkan hasil maka sengketa harus diselesaikan oleh instansi yang
berwenang yaitu pengadilan.
Jadi pada umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang
mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu
kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para
pihak menghendaki penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau memperhatikan
peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan para pihak, menegakkan
keadilan hukum dan penyelesaian tersebut harus tuntas.
Pada masyarakat desa, peran kepala desa sangat
penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang
menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan
dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi
semua pihak.
Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah
merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisonal yang
memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluarga.
BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Metode
berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang
ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah,maka metode menyangkut masalah cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Penelitian
merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
Metode penelitian adalah cara ilmiah
untuk mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Ciri ilmiah :
- Rasional
- Empiris
- Sistematis
Syarat data untuk penelitian :
- Valid (derajat
ketepatan)
- Reliabel (derajat
konsistensi/keajegan)
- Objektif
(interpersonal agreement)
Tujuan Penelitian, secara umum :
- Penemuan
- Pembuktian
- Pengembangan
Kegunaan Penelitian, secara umum :
- Memahami masalah
- Memecahkan masalah
- Mengantisipasi
masalah
Penulisan ilmiah atau tesis agar mempunyai
nilai ilmiah, maka perlu diperhatikan syarat-syarat metode ilmiah. Secara
epistimologis, ilmiah atau tidak suatu tesis adalah dipengaruhi oleh pemilihan
dan penggunaaan metode penulisan, bahan atau data kajian serta metode
penelitian. Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan
metodelogi penulisan sebagai berikut :
A. Metode
Pendekatan
Metode Pendekataan adalah suatu bentuk usaha dalam melakukan gerak
langkah untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatanya di
gunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis.
Dalam hal penyelesaian masalah mengenai
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram khususnya
dalam pelebaran Jalan Pemuda–Praya, tidak hanya dari segi bekerjanya hukum
secara otonom, akan tetapi memandang bekerjanya hukum itu sebagai bagian dari
bekerjanya segi-segi kehidupan masyarakat lainnya, seperti ekonomi, sosial,
politik, budaya dan lain sebagainya, dimana rasa keadilan ada pada kenyataan di
masyarakat. Oleh karena itu rasa keadilan berada di masyarakat, bukan pada
peraturan perundang-undangan.
B. Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah spesifikasi penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkanuntuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan
manusia, keadaan ataugejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan
objek masalahnya tanpabermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
Spesifikasi
penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian deskriptif analitis.
Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk
menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai
segala sesuatu yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Di Mataram khususnya dalam pelebaran Jalan Pemuda– Praya,
sedangkan analitis berarti mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram (Studi Kasus
Pelebaran Jalan Pemuda – Praya).
C. Populasi dan
Metode Penentuan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah
Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau
seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.
Kata populasi (dari bahasa Inggris: Population)
dipakai untuk hal-hal berikut:
- Dalam bidang geografi / demografi, sebagai sinonim bagi penduduk
- Dalam bidang biologi, populasi adalah
sekumpulan individu dengan ciri-ciri sama (satu spesies yang sama) yang
hidup dalam tempat dan waktu yang sama.
- Dalam bidang statistika, populasi adalah
sekumpulan data yang menjadi objek inferensi.
Populasi
dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Mataram khususnya dalam pelebaran
Jalan Pemuda – Praya. Oleh karena itu dengan menggunakan populasi tersebut akan
diperoleh data yang akurat dan tepat dalam penulisan tesis ini.
C.2. Metode Penentuan
Sampel
Mengingat
dasar pemikiran digunakannya sampel di dalam suatu penelitian, antara lain adalah agar
dalam penelitian tersebut dapat diperoleh kecermatan yang
tinggi, penghematan biaya, waktu, dan tenaga, serta membatasi
akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh suatu penelitian (khusnya pelaksanaan eksperimen), maka sampel harus ditetapkan dengan tepat dan benar.
Oleh karena
penelitian eksperimen menggunakan sampel yang relatif kecil, maka teknik pengambilan
sampel harus dilakukan dengan baik dalam arti tepat dan
benar. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketepatan generalisasi
hasil eksperimen.
Pada
pokoknya teknik pengambilan sampel dibedakan menjadi dua macam, yaitu teknik acak dan teknik
non acak. Teknik acak dan non acak akan dikemukakan pada
kegiatan belajar selanjutnya.
Penarikan sampel merupakan suatu proses
dalam memilih suatu bagian dari
suatu populasi yang berguna untuk menentukan bagianbagian dari obyek yang akan diteliti. Untuk itu, untuk
memilih sampel yang
representatif diperlukan teknik sampling.
Dalam
penelitian ini, teknik penarikan sampel yang
dipergunakan
adalah purposive sampling maksud digunakan teknik ini agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai
dengan tujuan penelitian.
` Berdasarkan
hal tersebut, maka obyek penelitian adalah Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota Mataram khususnya
dalam pelebaran Jalan Raya Pemuda – Praya,yang pengambilan
secara purposive.
C.3. Lokasi
Penelitian
Lokasi Penelitian Penetapan lokasi
penelitian sangat penting dalam angka mempertanggung-jawabkan data yang
diperoleh. Oleh karena itu lokasi penelitian perlu ditetapkan terlebih dahulu.
Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kota mataram-Kabupaten Lombok Tengah.
Lokasi
penelitian dalan penulisan tesis ini adalah daerah sepanjang Jalan
Pemuda – Praya yang dilebarkan
yang masuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Lombok Tengah
D. Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan
penelitian. Tujuan yang diungkapkan dalam bentuk hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap petanyaan penelitian. Jawaban itu masih perlu diuji secara
empiris, dan untuk maksud inilah dibutuhkan pengumpulan data. Data yang
dikumpulkan ditentukan oleh variabel-variabel yang ada dalam hipotesis. Data
itu dikumpulkan oleh sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel tersebut
terdiri atas sekumpulan unit analisis sebagai sasaran penelitian.
Pengumpulan
data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data,
karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data
yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa sesuai dengan
yang diharapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut,
maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode pengumpulan data sebagai berikut :
1) Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya melalui wawancara (responden, informasi) dan observasi atau diperoleh secara
langsung dari masyarakat.
Informan adalah sumber data yang berupa orang. Orang yang dalam penelitian ini dipilih dengan harapan dapat
memberikan
keterangan yang
diperlukan untuk melengkapi atau memperjelas jawaban dari responden. Informan penelitian ini adalah penggerak
atau pelaku perkelahian, korban dan keluarga mereka, Pejabat Kepolisian (Polsek Larangan), Pejabat
Kelurahan (pamong praja) dan tokoh masyarakat
formal dan non formal.
Data primer diperoleh dengan :
(a) Wawancara,
yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada
pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang
berwenang, mengetahui dan terkait dengan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kota
Mataram, khususnya
dalam Pelebaran Jalan Raya Pemuda – Praya.
(b) Sistem
wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar
pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya
variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara
dilakukan.
(c) Daftar
pertanyaan, yaitu daftar pertanyaan yang diajukan kepada orang-orang
yang terkait dengan pemberian ganti rugi atas tanah dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
di Kota Mataram, khususnya dalam Pelebaran Jalan Raya Pemuda – Praya
untuk memperoleh jawaban secara tertulis. Dalam hal ini, daftar
pertanyaan diberikan kepada warga masyarakat yang tanahnya terkena
Proyek Pembangunan Pelebaran Jalan RayaPemuda-Praya.
2) Data sekunder
Data sekunder
yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan
data primer. Data sekunder terdiri dari :
(a) Bahan-bahan hukum primer,
meliputi :
- UU
No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
- UU
No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda
yang ada di atasnya.
- UU
No. 30/1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- PP
No. 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan
Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah
Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.
- PP
No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah
- PP
No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- Keppres
No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
- Perpres
No. 36/2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
- Perpres
No. 65/2006 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
- Inpres
No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak
Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.
- Permeneg
Agraria/Kepala BPN No. 1/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Keppres No. 55/1993.
(b) Bahan-bahan hukum sekunder,
yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer, meliputi :
- Buku-buku
yang membahas tentang hukum agraria dan masalah pengadaan
tanah untuk pembangunan.
- Buku-buku
yang membahas tentang penyelesaian sengketa.
- Hasil
karya ilmiah para sarjana tentang pengadaan/pembebasan tanah.
- Hasil
penelitian tentang pengadaan/pembebasan tanah.
E. Teknik
Analisis Data
Data
yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada
dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif,
yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian
logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan
penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif,
yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Dalam penarikan
kesimpulan, penulis menggunakan metode deduktif. Metode deduktif
adalah suatu metode menarik kesimpulan dari yang bersifat umum
menuju penulisan yang bersifat khusus.
Teknik
analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
1. Teknik
Kuantitatif
Teknik kuantitatif dipakai untuk menganalisis data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes menulis teks berita
pada siklus I dan II. Hasil tes ditulis secara persentase dengan
langkah-langkah berikut ini.
a.merekap nilai yang diperoleh siswa.
b.menghitung nilai komulatif dari tugas-tugas siswa.
c. menghitung nilai rata-rata.
a.merekap nilai yang diperoleh siswa.
b.menghitung nilai komulatif dari tugas-tugas siswa.
c. menghitung nilai rata-rata.
d.menghitung
persentase.
2.Teknik
kualitatif
Dipakai untuk menganalisis data kualitatif yang diperoleh dari hasil nontes. Hasil analisis digunakan
untuk mengetahui siswa yang mengalami kesulitan dalam menulis teks berita dengan pendekatan
kontekstual
komponen pemodelan.
Hasil ini sebagai dasar untuk menentukan siswa yang akan diwawancarai selain hasil nilai tes. Hasil wawancara
dipakai untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan menulis teks berita dengan pendekatan
kontekstual
komponen pemodelan.
Hasil analisis tersebut sebagai dasar untuk mengetahui peningkatan keterampilan menulis teks berita
BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam Pembangunan Rel Kereta Api Mataram
di Kabupaten Lombok Tengah berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Perpres
Nomor 65 Tahun 2006
1. Keadaan Umum
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah
a. Keadaan Geografis
1. Keadaan Umum
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah.
Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu Daerah Tingkat II di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ibu kota daerah ini ialah Praya. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39 km² dengan populasi
sebanyak 745.433 jiwa
Kabupaten Lombok
Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116°
30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara
hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada
disekitarnya.
Luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah adalah
1.208,39 km² dengan batas-batas sebagai berikut:
Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Lombok
Tengah adalah:
- Sebelah utara : Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur
- Sebelah
Timur : Kabupaten Lombok Timur
- Sebelah
Selatan : Samudera Selatan
- Sebelah Barat : Kabupaten Lombok
Barat
Topografi
Wilayah Lombok Tengah yang membujur
dari utara ke selatan tersebut mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi
mulai dari nol (0) hingga 2000 meter dari permukaan laut. Secara garis besar
topografi masih mirip dengan kabupaten lain di pulau Lombok.
Jenis-jenis tanah yang ada di kawasan
ini antara lain:
- Aluvial: 2.764 Ha
- Regusol Kelabu: 20.387 Ha
- Kompleks
Gromusol Kelabu Tua: 3.947 Ha
- Gromusol Kelabu: 34.306 Ha
- Regusol Coklat: 8.225 Ha
- Brown Forest Soil: 9.575 Ha
- Kompleks
Mediteran Coklat: 41.635 Ha
Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmid
dan Ferguson, Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim D dan iklim E, yaitu hujan tropis dengan musim kemarau kering, yaitu mulai bulan November sampai
dengan Mei, sementara curah hujan berkisar antara 1.000 hingga 2.500 mm per
tahun.
Curah hujan tersebut dapat dirincikan
sebagai berikut:
- 1000-1750
mm, biasanya terjadi di Kecamatan Janapria, Praya dan Kecamatan Praya Tengah
- 1000-2000
mm, biasanya terjadi di Kecamatan Janapria
- 1500-2500,
biasanya terjadi di Kecamatan Batukliang Utara, Jonggat, Kopang, Praya Barat Daya dan
Kecamatan Pringgarata
Penduduk
Menurut data hasil sensus penduduk
tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 745.433 jiwa
(laki-laki 350.734 jiwa dan perempuan 394.699 jiwa) dengan Sex Ratio 89.
Laju pertumbuhan sebesar 0.97%. Tingkat pertumbuhan merupakan kemajuan dari
sebelumnya, yaitu 211% per tahun (periode 1970 - 1980) dan 1,64% per
tahun (periode 1980 - 1990). Tingkat kepadatan mencapai 617 jiwa/km².
Mata Pencaharian
Mengingat sebagian wilayah Kabupaten
Lombok Tengah merupakan areal pertanian, maka sebagian besar penduduknya hidup
sebagai petani. Secara keseluruhan, persentase pembagian penduduk di Kabupaten
Lombok Tengah dari segi mata pencaharian adalah: pertanian 72%, industri 7%,
jasa 7%, perdagangan 7%, angkutan 3%, konstruksi 2% dan lainnya 2%.
2.Keadaan Umum Wilayah Kota Mataram
Nusa Tenggara Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia. Sesuai dengan
namanya, provinsi ini meliputi bagian barat Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di
barat dan Sumbawa yang terletak di
timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram yang berada di
Pulau Lombok. Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau
Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%).
Kota Mataram merupakan kota sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Pengaruh
Adat Sasak dan Adat Bali cukup mewarnai masyarakat di kota ini.
Geografi
Kota Mataram memiliki topografi
wilayah berada pada ketinggian kurang dari 50 meter di atas permukaan laut
(dpl) dengan rentang ketinggian sejauh 9 km, terletak pada 08° 33’ - 08° 38’
Lintang Selatan dan 116° 04’ - 116° 10’ Bujur Timur. Struktur geologi Kota
Mataram sebagian besar adalah jenis tanah liat dan tanah endapan tuff yang
merupakan endapan alluvial yang berasal dari kegiatan Gunung Rinjani, secara visual terlihat seperti
lempengan batu pecah, sedangkan di bawahnya terdapat lapisan pasir.
Suhu udara di Kota Mataram berkisar
antara 20.4°C sampai dengan 32.10°C. Kelembapan maksimum 92% terjadi pada bulan
Januari, April, Oktober dan November, sedangkan kelembapan minimum 67% terjadi
pada bulan Oktober. Rata-rata penyinaran matahari maksimum pada bulan Februari.
Sementara jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebanyak 27
hari, dengan curah hujan rata-rata mencapai 1.256,66 mm per tahun, dan jumlah
hari relatif 110 hari per tahun.
Batas
Wilayah
Batas-batas wilayah Kota Mataram
adalah sebagai berikut:
Penduduk
Mayoritas penduduk Kota
Mataram adalah Suku Sasak. Selain Suku Sasak, Mataram juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia,
termasuk suku Bali,
Tionghoa dan Arab.
Bahasa
Masyarakat Mataram sebagian besar menguasai bahasa Sasak sebagai bahasa asli Pulau Lombok, namun dalam pergaulan sehari-hari di tempat resmi, bahasa
Indonesia adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Bila di rumah atau tempat
rekreasi, warga Mataram cenderung memakai bahasa Sasak, seperti misalnya: medaran yang
artinya makan.
Agama
Agama mayoritas penduduk Mataram adalah Agama Islam. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun Islam merupakan agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar adalah niat masyarakat Mataram dalam menjalankan amal ibadahnya, sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan berbudaya.
Agama mayoritas penduduk Mataram adalah Agama Islam. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun Islam merupakan agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar adalah niat masyarakat Mataram dalam menjalankan amal ibadahnya, sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan berbudaya.
Profil Ekonomi
Komoditas primer seperti perikanan,
perumahan, energi merupakan kontributor utama perekonomian.
Akomodasi
Mataram memiliki berbagai macam akomodasi dengan harga yang bersaing. Hotel dengan standar internasional, menengah dan hotel melati hanyalah beberapa jenis akomodasi yang tersedia.
Mataram memiliki berbagai macam akomodasi dengan harga yang bersaing. Hotel dengan standar internasional, menengah dan hotel melati hanyalah beberapa jenis akomodasi yang tersedia.
Suku bangsa
Suku Sasak merupakan suku bangsa mayoritas
penghuni Kota Mataram, selain Suku Bali, Tionghoa, Melayu dan Arab. Keharmonisan kehidupan antar suku di
Mataram sempat terganggu oleh peristiwa pecahnya Kerusuhan Lombok 17 Januari
2000 yang menyeret isu agama dan ras sebagai penyebab kerusuhan.
3.
Penentuan Ganti Rugi Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB)
1. Hasil
Penelitian
Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan telah disahkan dan berlaku sejak 14 Oktober
2009, didalamnya terdapat larangan alihfungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan sesuai Pasal 44 ayat (1): Lahan yang sudah
ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi
dan dilarang dialihfungsikan. Untuk kepentingan umum, pengalihfungsian lahan
haruslah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam alihfungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan untuk kepentingan umum, sebagaimana dalam Pasal
44 ayat (3): Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan
syarat:
- dilakukan
kajian kelayakan strategis;
- disusun
rencana alih fungsi lahan;
- dibebaskan
kepemilikan haknya dari pemilik; dan
- disediakan
lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian PanganBerkelanjutan yang
dialihfungsikan.
Data
yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah mengenai perubahan penggunaan tanah dari Tahun 2004 sampai dengan
Tahun 2008 menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi
lahan non pertanian sangatlah signifikan, dan ketika Penulis melakukan
penelitian belumlah ada upaya pemulihan dengan adanya pemberian
lahan pengganti bagi tanah sawah (lahan pertanian) yang dialihfungsikan
untuk lahan non pertanian.
Pada
tahun 2004, jumlah keseluruhan tanah sawah, tegalan, kebun
campur, kolam/tambak, dan tanah kosong adalah 408,55 ha. Saat
ini penggunaannya telah berubah menjadi pemukiman, industri, prasarana
jasa, perdagangan dan lain-lain. Jumlah perubahan penggunaan tanah
di Kabupaten Lombok Tengah semakin
meningkat setiap tahun, Tahun 2005 meningkat menjadi 510,89 ha,
sampai Tahun 2008 meningkat menjadi 542,46 ha.Ketentuan mengenai
penyediaan lahan pengganti terhadaptanah pertanian yang digunakan untuk
kepentingan umum tidaklah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan
aturan dilaksanakannya pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Hal ini jelas bertentangan dengan bunyi Pasal 44 ayat (3) huruf d.
Dalam
Pasal 44 ayat (3) huruf d, terdapat ketentuan mengenai penyediaan
lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang dialihfungsikan. Hal tersebut harus dilakukan atas dasar
kesesuaian lahan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1):
Penyediaan lahan
pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3)
huruf d dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling sedikit
tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan
beririgasi;
b. paling sedikit
dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan
reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan
c. paling sedikit
satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan
tidak beririgasi. Kenyataan di lapangan, diperoleh data dari
hasil wawancara dengan Kepala Desa dan masyarakat yang terkena pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan Rel, ganti rugi yang diperoleh berupa uang dengan
nilai 2 (dua) kali NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak).
Meskipun proses
musyawarah penentuan ganti rugi belumlah terlaksana secara
menyeluruh terhadap tujuh kecamatan yang akan dilalui jalan
Rel, namun berdasarkan data penelitian, adanya Undangundang Nomor
40 Tahun 2009 belumlah disosialisasikan, sehingga kemungkinan
adanya penggantian lahan terhadap lahan pertanian sesua dengan
undang-undang tersebut sangatlah kecil.
4.
Pembahasan
Rencana pembangunan jalan Rel Kereta Api di
Kota Mataram sebagai salah satu bagian dari pelaksanaan pembangunan jalan Rel
Kereta Api yang menghubungkan kabupaten
Praya dengan anggaran dana mencapai Rp 46,77 triliun. Pengalokasian dana
terpenting adalah dalam proses pembebasan tanahnya sebagai ganti rugi terhadap
masyarakat pemilik tanah yang tanahnya dipakai untuk pembangunan jalan Rel
Kereta Api.
Proses
pemberian ganti rugi bagi masyarakat pemilik tanah di Kota Mataram dalam proyek
pembangunan jalan Rel Kereta Api belum terlaksana secara maksimal, bahkan
penentuan besarnya nilai ganti rugi pun belum dilakukan secara merata.
Arti
ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) sebagai berikut: Ganti rugi adalah
penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai
akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
proyek pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti rugi menurut Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 bisa berupa:
a. uang dan/atau;
b. tanah pengganti dan/atau;
c. pemukiman kembali;
d. penyertaan modal (saham).
Penetapan
ganti rugi terhadap pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah
(P2T) sesuai dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, sedangkan menurut Perpres
Nomor 35 Tahun 2005 P2T hanya mempunyai wewenang untuk menaksir besarnya
ketetapan ganti rugi. Sebelum adanya penetapan besarnya ganti rugi, pekerjaan yang
harus didahulukan adalah musyawarah antara para pemilik tanah dengan P2T.
Pasal 44 ayat
(1) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
menyatakan: Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan;
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Pengalihfungsian
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk
kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
dengan syarat:
- dilakukan kajian kelayakan strategis;
- disusun rencana alih fungsi lahan;
- dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
- disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan.
Dari
uraian di atas, bisa dilihat bahwa setiap Pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum termasuk pembangunan Rel Kereta Api di Kota
Mataram-Kabupaten Praya , akan bersinggungan dengan tanah yang telah dilekati
hak, dan juga akan merubah rencana tata ruang wilayah kabupaten bersangkutan,
baik dari segi penggunaan tanah maupun pemanfaatan tanah sekaligus merubah
pemilikannya.
Dari
sisi tata ruang yang seharusnya merupakan kawasan budidaya
(pertanian) yang dilindungi sekonyong-konyong berubah menjadi
non pertanian (jalan), dari sisi penggunaan tanah lokasi di Kecamatan
Cakranegara, Kecamatan Kediri,
Kecamatan Ubung, danKecamatan Puyung,
merupakan sawah yang produktif dengan frekuensi 2 (dua)
kali panen dalam satu satu tahun, dengan adanya pembangunan jalan
Rel otomatis lahan sawah berkurang dan produksinya pun
akan berkurang, walau ditinjau dari segi harga jual tanah
akan mengalami peningkatan cukup signifikan. Yang lebih repot lagi
akan terjadi pergeseran penguasaan dan pemilikan dari masyarakat
petani menjadi dikuasai Negara, walau masyarakat petani dapat
ganti rugi, yang menurut informasi sebesar dua kali harga NJOP.
Menurut
pendapat Penulis, kenyataan ini memang tidak dapat dihindarkan, hal ini
terlihat dari pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Lombok Tengah selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Namun demikian bila
ditinjau dari sisi ekonomi memang masyarakat yang terkena pembangunan jalan
merasa diuntungkan, disamping harga tanah jadi lebih mahal transportasi lebih
lancar sehingga masyarakat dapat memanfaatkan sarana dan prasarana transportasi
yang baik.
Mengenai
jalan Rel Kereta Api sendiri, walaupun terdapat beberapa pendapat mengenai
dapat atau tidak dikategorikan dalam kepentingan umum, namun telah terdapat
kejelasan sebagaimana dalam perubahan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006. Sehingga jalan Rel Kereta Api dapat dikategorikan dalam kepentingan umum.
Dalam pembangunan jalan Rel Kereta Api khususnya di Kabupaten Lombok Tengah, jelas dilakukan oleh investor swasta, namun setelah pengerjaannya
selesai proyek jalan Rel Kereta Api tersebut akan menjadi milik Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah dan bukan menjadi milik investor dimana akan
berorientasikan profit.
Mengkaji
kedudukan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006, yang mana sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan,
sebenarnya hanya berkedudukan secara administratif saja, sehingga keberadaannya
dalam mengatur kepentingan publik (pengadaan tanah) tidaklah tepat, akan lebih
baik apabila aturan pengadaan tanah dibuat dalam bentuk undang-undang yang
mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam
hal penentuan dan pemberian ganti rugi, seharusnya melihat pada hal-hal sebagai
berikut:
- didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur
- ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil
keputusan final musyawarah
- mencakup bidang tanah, bangunan, serta tanaman yang dihitung berdasarkan
tolok ukur yang telah disepakati
- wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman
kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
Tahap musyawarah
penentuan ganti rugi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan
Tanah dan oleh Tim Penilai belumlah dilaksanakan,
sehingga dalam hal penentuan ganti rugi memang belum terdapat
kepastian mengenai besarnya nilai ganti rugi dan juga bentuk
dari ganti rugi itu sendiri. Masih adanya tahap musyawarah tersebut sebagai
rangkaian dari tahap-tahap pengadaan tanah, menjadikan kemungkinan akan diberikannya
ganti rugi dalam bentuk lahan pengganti khususnya bagi tanah
pertanian. Dalam hal ini diharapkan adanya penerapan Undangundang Nomor
41 Tahun 2009 tentang PLPPB dalam hal penentuan ganti rugi,
sehingga masyarakat dapat mengambil keuntungan dari adanya
perlindungan dalam ketentuan undang-undang tersebut.
4.
Hambatan-hambatan yang timbul dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Pelebaran Jalan di Pemuda – Praya Kota Mataram dan
Upaya
Penyelesaiannya
Menurut
Ahmad Husein Hasibuan ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam
pelaksanaan pembebasan tanah: faktor psikologis masyarakat dan faktor dana.
Kendala yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah:
1) Masih ditemui
sebagian pemilik/yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat
bermanja-manja meminta ganti-rugi, karenanya meminta
ganti-rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang
bersedia menerima ganti-rugi yang dimusyawarahkan;
2) Masih ditemui
pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan tanahnya adalah mulia dan sakral,
sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti-rugi,
karenanya mereka bertahan meminta ganti-rugi yang sangat tinggi;
3) Kurangnya
kesadaran pemilik/yang menguasai tanah tentang pantasnya
mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Selanjutnya,
kendala yang merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana
pembebasan tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan
harga wajar menurut pasar umum setempat.
Menurut
Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan
Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain
pemberian ganti kerugian. Dan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005
yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres
No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga
dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan
hak atas tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006,
yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006
selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat
dilakukan dengan cara pelepasan hak.
Kendala-kendala
tersebut di atas merupakan beberapa permasalahan pembebasan tanah
(sekarang pelepasan atau penyerahan hak) yang intinya terletak
pada besarnya ganti kerugian. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai
tanah menginginkan besarnya ganti-kerugian sesuai dengan harga pasar
setempat, sementara di sisi lain masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia
untuk pembebasan tanah.
Tanah
merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Semua
kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata
lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :
“Bumi, air, dan
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara, dan
dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan
hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak
sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala
kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena
itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi
seluruh rakyat.
Berdasarkan
hasil penelitian, tim yang dibentuk hanya dibentuk secara sepihak
oleh Pemerintah Kotamadya Mataram melalui SK
Walikotamadya tanpa melibatkan pihak terkait lainnya, termasuk warga sendiri.
Dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian juga demikian, ada
pihak-pihak yang mengambil keuntungan dalam proyek ini termasuk
dari pihak warga sendiri.
Salah
satu contohnya warga yang “dekat” dengan Kabupaten Lombok Tengah mendapatkan ganti kerugian lebih besar dari pada warga yang tidak
“dekat”, padahal tanahnya yang terkena proyek tersebut lebih besar. Berdasarkan
hal tersebut wajar apabila banyak warga yang tidak menerima
pemberian ganti kerugian dari pemerintah. Di dalam kalangan warga sendiri
terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok yang menerima ganti kerugian
dan kelompok yang menolak ganti kerugian.
Berdasarkan
hasil penelitian, hambatan-hambatan yang timbul adalah sebagai
berikut:
1. Hambatan yang
datang dari Pemerintah,
a. Kekurangan
dana:
• Berdasarkan
hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan
pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi
ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan
dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya
dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Mataram dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan
nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat.
Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan
sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi
tanahnya belum selesai:
• Warga yang
belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian
tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang
belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya
sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah
baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya
diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya
perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan,
dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang
timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan,
adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan
oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian
warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut
warga mereka merasa dibohongi oleh pihak Lombo Tengah yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar
1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati.
Dari
kedua hambatan tersebut, diketahui bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk pembangunan jalan raya Pemuda –Praya
adalah mengenai besarnya nilai ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah.
Sehingga sampai penelitian ini dilakukan masih ada beberapa warga,
khususnya di Kelurahan Pemuda belum mengambil
uang ganti kerugian ditambah tanah pengganti yang dititipkan di Kota Mataram.
Pihak
Pemkot mengatakan bahwa pelaksanaan pembebasan tanahnya sudah
selesai karena ganti rugi sudah dibayarkan dengan dititipkan pada Kabupaten Lombok Tengah. Tetapi dalam kenyataannya masih ada warga yang belum mau mengambil
uang ganti rugi tersebut, sehingga pada saat pelaksanaan pembebasan
tanah mereka terhalang oleh pihak/warga yang tidak mengambil uang
ganti rugi.
Pada
masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga
desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan
sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi
semua pihak.
Melihat
kondisi yang demikian, Pemerintah Kotamadya Mataram melalui
Tim yang dibentuknya lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah
daripada jalur hokum, karena Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah
merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisonal
yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan. Hal
ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan
melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan,yang menurut
warga, mereka mengaku telah mempunyai bukti-bukti yang cukup kuat untuk
mengajukan gugatan ke PTUN, akan tetapi dalam hal ini responden yang tidak
mau disebutkan namanya, tidak mau mengatakan bukti-bukti apa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum adalah salah satu kewenangan yang dimiliki pemerintah
daerah dalam upaya membangun fasilitas untuk masyarakat.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres
No. 55/1993, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan untuk
seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan
umum, dibatasi:
1. dilakukan
oleh pemerintah,
2. dimiliki
oleh pemerintah,
3. tidak untuk mencari keuntungan
Dalam Pasal 5
ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa :
“kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang
antara lain:
a)
Jalan umum, saluran pembuangan air;
b)
Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran
irigasi;
c)
Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d)
Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;
e)
Peribadatan;
f)
Pendidikan atau sekolahan;
g)
Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h)
Fasilitas Pemakaman Umum;
i)
Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar;
j)
Pos dan Telekomunikasi;
k)
Sarana Olah Raga;
l)
Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
m) Kantor Pemerintah;
n) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia
Tata cara permohonan hak atas tanah dalam hal ini
Tanah Negara diawali dengan syarat-syarat bagi pemohon. Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan
pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan menentukan bahwa :
Pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan hak
milik atas tanah negara secara tertulis, yang diajukan kepada Menteri melalui
Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya melikputi letak tanah yang
bersangkutan.
Dalam permohonan tersebut memuat keterangan
mengenai pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan
data fisik serta keterangan lainnya berupa keterangan mengenai jumlah bidang,
luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah
yang dimohon serta keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan hak tersebut
diajukan kepada Menteri Negara Agraria melalui Kepala Kantor Pertanahan yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Setelah berkas
permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan maka :
- Memeriksa dan meneliti kelengkapan
data yuridis dan data fisik.
- Mencatat dalam formulir isian.
- Memberikan tanda terima berkas
permohonan sesuai formulir isian
- Memberitahukan kepada pemohon.
Untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat dan berkas permohonan hak
atas tanah yang telah lengkap dan telah diproses sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah yang dimohon kemudian dilakukan pendaftaran haknya ke Kantor
Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, untuk
diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda lahirnya hak atas tanah
tersebut.
Hambatan atau kendala yang sering ditemui dalam
hal pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum ada dua, yaitu
faktor psikologis dan faktor dana.
Kendala
yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah:
1) Masih ditemui
sebagian pemilik/yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat
bermanja-manja meminta ganti-rugi, karenanya meminta
ganti-rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang
bersedia menerima ganti-rugi yang dimusyawarahkan;
2) Masih ditemui
pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan tanahnya adalah mulia dan sakral,
sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti-rugi,
karenanya mereka bertahan meminta ganti-rugi yang sangat tinggi;
3) Kurangnya
kesadaran pemilik/yang menguasai tanah tentang pantasnya
mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
Kendala
yang merupakan faktor dana :
kendala yang
merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana pembebasan
tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan
harga wajar menurut pasar umum setempat.
Selain
hambatan di atas datang pula hambatan yang berasal dari pemerintah dan berasal
dari masyarakat itu sendiri, yaitu :
1. Hambatan yang
datang dari Pemerintah,
a. Kekurangan
dana:
• Berdasarkan
hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan
pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi
ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan
dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya
dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Mataram dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan
nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat.
Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan
sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi
tanahnya belum selesai:
• Warga yang
belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian
tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang
belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya
sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah
baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya
diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya
perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan,
dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang
timbul dari warga
Hambatan
yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan,
adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan
oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian
warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut
warga mereka merasa dibohongi oleh pihak Lombo Tengah yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar
1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati.
B. Saran
Mengingat begitu
pentingnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum maka demi kelancaran hal
tersebut kami ingin memberi masukan dan saran. Sudah seharusnya kita sebagai
masyarakat selalu mendukung program pemerintah begitupun dalam hal pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Kita harus memiliki kesadaran untuk lebih
mengedepankan kepentingan umum dari kepentingan pribadi. Begitu juga dengan
pihak pemerintah. Demi kelancaran pengadaan tanah tersebut kita harus
melaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan. Jangan sekali-kali
mencoba untuk mengambil keuntungan dari progaram pengadaan tanah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar