BAB I
PENDAHULUAN
Pada UU
Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan didefinisikan sebagai wilayah administratif
pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Definisi ini bermakna bahwa kecamatan
adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan
pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah (Maksum, 2007). Sementara itu,
pada UU Nomor 32 Tahun 2004 kecamatan didefinisikan sebagai wilayah kerja camat
yang merupakan perangkat daerah kabupaten dan kota3. Perubahan definisi ini
menjadikan kecamatan yang awalnya merupakan salah satu wilayah administrasi
pemerintahan—selain pemerintahan nasional, provinsi, kabupaten atau kotamadya,
dan kota administratif—menjadi wilayah kerja dari perangkat daerah. Perubahan
ini juga telah mengubah kecamatan yang awalnya merupakan wilayah kekuasaan
berubah menjadi wilayah. pelayanan.
Berdasarkan
uraian di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ulang peran camat dan kecamatan
di era otonomi daerah ini. Menurut Schmid (1972), kecamatan dapat dipandang
sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol sumber daya yang kinerjanya
ditentukan oleh pola relasi dengan kabupaten dalam konteks otonomi daerah, dan
pola relasi dengan desa dalam konteks
otonomi desa. Oleh karena itu, kecamatan sebagai suatu kelembagaan memiliki
tiga karakteristik utama dalam melaksanakan fungsi dan peranannya, yakni
memiliki batas yurisdiksi; property rights; dan aturan representasi (rules of
representation). Batas yurisdiksi kelembagaan kecamatan adalah batas wilayah
otoritas kecamatan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dan kewenangan
mengatur hubungan antardesa dengan tidak mencampuri urusan di dalam desa,
berdasarkan peraturan perundangan. Dalam hal ini makna dari batas yurisdiksi
adalah seberapa jauh peran kelembagaan kecamatan dalam mengatur alokasi
sumberdaya. Property rights merupakan sebuah institusi sosial yang membentuk
atau membatasi cakupan hak kepemilikan individu atas sumber daya (Kim dan
Joseph, 2002).
Ekspektasi
masyarakat terhadap peran signifikan kecamatan dapat dikatakan masih tinggi.
Masyarakat masih mengharapkan peran kecamatan seperti masa lalu, sebagaimana di
atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dapat
ditinjau dari kecenderungan masyarakat yang masih menjadikan kecamatan sebagai
tempat pengaduan berbagai permasalahan sosial, mulai dari bencana alam, anak
jalanan, sampah, hingga konflik sosial Unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika)
secara de facto masih dianggap berperan besar dalam menanggapi dan mengatasi
pelbagai permasalahan sosial di masyarakat (Kurniawan, 2008). Hal ini diperkuat
oleh kajian Kinseng (2008) yang menyatakan bahwa tuntutan masyarakat terhadap
peran camat sebagai pemimpin kecamatan masih besar seperti pada era penerapan
UU Nomor 5 Tahun 1974. Camat dituntut untuk siap melayani masyarakat sepenuhnya
dan memahami segala macam persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Permasalahannya, bupati atau walikota yang selama ini sering mengharapkan
peran kecamatan yang besar, justru tidak
mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada camat. Hal ini sering mengakibatkan
keragu-raguan camat dalam menangani pelbagai persoalan yang terjadi dalam
masyarakat. Pada sisi lain, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
telah membawa berbagai perubahan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, terutama dalam hal praktik-praktik pemerintahan. Salah satu perubahan
tersebut menyangkut kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan kecamatan.
Perubahan tersebut mengubah bentuk organisasi, pembiayaan, pengisian personel,
pemenuhan kebutuhan logistik, serta akuntabilitasnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dengan demikian, unsur Muspika yang selama ini berperan
besar dalam menengahi dan mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat tidak
lagi diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 yang diterbitkan pemerintah. Perubahan
tersebut diawali dengan perubahan definisi mengenai kecamatan itu sendiri.
Karakteristik
property rights yang dimiliki kelembagaan kecamatan mengandung makna
sosiologis. Pengelolaan sumberdaya oleh kecamatan dibatasi dalam kerangka
otonomi daerah dan otonomi desa yang secara sosiologis tidak dapat dipisahkan
dengan pengaturan oleh hukum positif, adat, dan tradisi, serta
kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengatur hubungan antarkomunitas desa terhadap
sumberdaya. Sementara itu, dalam hal rules of representation, kelembagaan
kecamatan berperan untuk memfasilitasi partisipasi berbagai pihak dalam satuan
wilayah kecamatan dengan berlandaskan kaidah-kaidah representasi yang digunakan
dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi
menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang dibatasi oleh pola hubungan
vertikal kecamatan, baik dengan kabupaten maupun dengan desa. Tiga
karakteristik utama tersebut menjadi faktor “pengikat” kelembagaan kecamatan
dalam melaksanakan fungsi dan peranannya. Kuat-lemahnya kelembagaan kecamatan
dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dipengaruhi oleh sampai sejauhmana batas
yurisdiksi, property rights, dan rules of representation yang dimiliki oleh
kelembagaan kecamatan. Dalam dimensi historis dan dinamikanya, kelembagaan kecamatan
mengalami perubahan (institutional change) yang secara multilinear sejajar
dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan pada
tata pemerintahan daerah. Perspektif sosiologi memandang perubahan kelembagaan
tersebut sebagai suatu proses pelembagaan (institutionalization) atau pembaruan
kelembagaan sosial. Kebanyakan aksi masyarakat atas perubahan kelembahan
terjadi secara spontan, bukan sebagai rencana yang disadari (Argandoña, 2004).
Dalam
konteks reformasi di Indonesia perubahan tersebut erat kaitannya dengan
perubahan tata pemerintahan daerah, mulai dari peraturan perundangan masa
kolonial, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, hingga UU Nomor 32
Tahun 2004. Perubahan pada aspek regulasi tersebut dimaknai sebagai perubahan
tataran sistem norma dan nilai serta proses pembentuk pola perilaku aktor dan
masyarakat yang secara bersama-sama (co-evolution) diikuti dengan perubahan
proses pengorganisasian kecamatan sehingga membentuk badan atau organisasi
kecamatan yang sesuai dengan perubahan pada aspek regulasi tersebut di atas.
Merujuk pada Carney and Gedajlevic (2002), perubahan bersama antara kelembagaan
dan organisasi kecamatan dimaknai sebagai suatu Institutional and Organizational
Co-evolution.
Pada
konteks itu evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan dapat
dikonstruksikan suatu perubahan yang terjadi pada kecamatan, yakni organisasi
kecamatan akan beradaptasi terhadap perubahan pranata sosial (sistem norma dan
nilai) dari traditional-local institutions (endogenous) dan formal-local
institutions (exogenous); respons terhadap perubahan pranata sosial tersebut
menimbulkan bentuk organisasi kecamatan yang baru yang sesuai dengan kondisi
traditional & formal intitutions, bentuk organisasi kecamatan yang baru
tersebut merupakan sinergi dari pertukaran sistem norma dan nilai (asimilasi
dan akulturasi) traditional & formal institutions. Perubahan kelembagaan
kecamatan tersebut secara teoretik tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi.
Selain faktor tersebut, struktur sosial masyarakat—termasuk di dalamnya
perubahan dan dinamika ekonomi mikro dan makro, dan faktor kultural—merupakan
faktor- faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat bahkan menjadi buffer,
evolusi bersama kelembagaandan organisasi kecamatan. Faktor-faktor tersebut
penting untuk dipertimbangkan dalam menelaah perubahan kelembagaan kecamatan,
mengingat struktur sosial dan kultur masyarakat Indonesia yang tergolong
majemuk.
Oleh
karena itu, merujuk kepada pendapat Scott (2008) “institution are comprised of
regulative, normative and cultural cognitive elements that, together with
associated activities and resources, provide stability and meaning of social
life.”, pada setiap tahap atau periode perubahan (evolusi bersama) tersebut
perlu ditelaah apa dan bagaimana pilar-pilar kelembagaan yang mendukung
kelembagaan kecamatan itu. Ketiga elemen tersebut membentuk satu gerak kontinum
from conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for
granted.
Berdasarkan
pandangan itu, ketiga elemen tersebut menjadi pilarpilar vpenting yang menopang
kelembagaan kecamatan (tabel 1). Bentuk-bentuk kelembagaan kecamatan yang
dikonstruksikan sebagai hasil dari proses evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi
kecamatan (perubahan kelembagaan kecamatan) pada setiap periode akan
menunjukkan kekhasan dengan pilarpilar penopang kelembagaan kecamatan seperti
dijelaskan oleh Scott. Oleh karena itu, dengan kekhasan pilar-pilar penopang
kelembagaan kecamatan akan berimplikasi sampai sejauhmana kelembagaan kecamatan
mampu menjadi sebuah sistem organisasi dan kontrol sumberdaya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Pasang-Surut
Kewenangan Camat
Pada masa
berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974, camat merupakan kepala wilayah. Pada pasal 76
dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh
seorang kepala
wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa
kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam pasal 80 dinyatakan kepala
wilayah sebagai wakil pemerintah
adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan
dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan
mengoordinasikan pembangunan dan membina
kehidupan masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas,
dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewenang,
tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan
walikota.
Pasal 81 secara
lengkap dijelaskan bahwa wewenang, tugas dan kewajiban kepala wilayah adalah
membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan segala usaha dan kegiatan di
bidang pembinaan ideologi, negara dan politik dalam negeri serta pembinaan
kesa-tuan bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah;
menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan instansi-instansi vertikal
dan antara instansi-instansi vertikal dengan dinas-dinas daerah, baik dalam
perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang
sebesar-besarnya; membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah;
mengusahakan secara terus-menerus agar segala peraturan perundangundangan dan
peraturan daerah dijalankan oleh instansi-instansi pemerintah dan pemerintah
daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan
pemerintah; melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya; melaksanakan segala tugas
pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi lainnya.
Dari sini terlihat
betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang camat di wilayah kecamatan. Camat
adalah kepala wilayah, wakil pemerintah pusat, dan penguasa tunggal di wilayah
kecamatan yang dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk
menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan
bupati/walikota, camat mempunyai kewenangan yang cukup besar di wilayahnya.
Tidakheran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala
sesuatu tanpa perlu mengkonsultasikannya dengan bupati. Pada masa setelah
berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian UU Nomor 32 Tahun 2004, camat
tidak lagi menjadi kepala wilayah, melainkan sebagai perangkat daerah. Seperti
telah disebutkan sebelumnya,
Dalam Pasal 120
ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa perangkat
daerah kabupaten/kota terdiri
atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan
kelurahan. Jadi, secara hukum posisi camat
sejajar dengan posisi para kepala dinas daerah dan lurah. Camat merupakan
perpanjangan tangan bupati. Secara terinci, kewenangan camat dijelaskan dalam
Pasal 126 ayat (2) yang menyatakan bahwa camat yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah. Jadi, berdasarkan ayat (2) ini seorang camat
mendapat kewenangan yang dilimpahkan atau diberikan oleh bupati atau walikota,
untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Pada ayat (3), dijelaskan bahwa
camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintah. Tugas umum pemerintah ini
meliputi mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; mengkoordinasikan
upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; mengkoordinasikan
penerapan dan penegakkan peraturan perundang-undangan; mengkoordinasikan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; mengkoordinasikan
penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan; membina
penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan.
Perubahan posisi
atau status camat dari kepala wilayah menjadi perangkat daerah dengan fungsi
utama “menangani sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan serta
“menyelenggarakan tugas umum pemerintah” ini ternyata membawa implikasi yang
sangat mendasar bagi camat dan institusi kecamatan itu sendiri. Saat ini, para
camat merasakan bahwa secara formal (yuridis), kewenangan dan kekuasaan mereka
sangat berkurang. Selain itu, para camat juga merasa bahwa kewenangan dan
fungsi mereka sekarang menjadi kurang jelas. Hal ini sering menimbulkan
keraguan bagi para camat dalam menjalankan tugasnya. Di lain pihak pada
kenyataannya para camat sekarang masih menjalankan tugas sebagai kepala
wilayah. Masyarakat pun juga menganggap bahwa camat masih merupakan penguasa wilayah
seperti dulu. Masyarakat tetap meminta campur tangan camat dalam menangani
berbagai persoalan yang mereka hadapi, seperti konflik sosial, kebersihan,
keamanan, dan persoalan-persoalan lainnya. Camat juga diharapkan kehadirannya
dalam berbagai aktivitas masyarakat, seperti khitanan, pernikahan, dan kegiatan
masyarakat lainnya. Sesungguhnya bupati sendiri juga masih mengharapkan camat
berperan seperti kepala wilayah dalam hal-hal tertentu. Camat diharapkan
menjadi pihak yang paling mengetahui seluruh permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat. Jika ada persoalan yang terjadi dalam masyarakat, bupati sering
meminta penjelasan kepada camat, padahal masalah tersebut sebenarnya adalah
masalah teknis yang berada di bawah urusan instansi teknis tertentu. Hal konkret
seperti inilah yang sering menimbulkan ketidakjelasan posisi camat dalam
masyarakat.
Sebenarnya
pengurangan kewenangan camat ini tidak hanya terjadi pada era otonomi daerah
sekarang ini. Nordholt (1987), misalnya, menyatakan bahwa pada tahun 1970-an
tugas kepolisian telah diambil alih dari camat oleh aparat kepolisian. Selain
itu, bidang-bidang yang disebut sebagai “tugas-tugas kesejahteraan” juga
diambil alih dari camat, antara lain tugas di bidang pendidikan, pertanian,
perkreditan, dan kesejahteraan, misalnya, dikerjakan oleh dinas-dinas yang
bersangkutan. Selanjutnya, pemerintah juga mendirikan kantorkantor tersendiri
bagi para pejabat dinas-dinas tersebut sehingga mereka tidak perlu bekerja di
kantor camat. Hal ini turut melemahkan kekuasaan camat atas para pejabat
dinas-dinas tersebut. Secara historis status dan kewenangan camat atau
kecamatan memang mengalami pasang-surut. Seperti dicatat oleh Nordholt (1987),
camat dulu disebut asisten wedana.
Tugas pokoknya
adalah membantu wedana terutama dalam hal pengumpulan atau pemungutan pajak
dari masyarakat, sehingga pada masa itu keberhasilan seorang asisten wedana
(camat) sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menarik pajak. Dalam
perkembangannya, tugas camat diperluas sehingga mencakup tugas-tugas
kepolisian, yakni mengurus masalah ketertiban dan keamanan di wilayahnya,
bahkan kemudian juga berurusan dengan para pejabat dari dinas-dinas lain. Pada
tahun 1950-an, kecamatan juga pernah diperjuangkan untuk menjadi daerah otonom
atau otonomi daerah tingkat III, oleh seorang tokoh yang bernama Soetardjo
(Nordholt, 1987).
1.2. Kewenangan
dan Pemberdayaan Camat
UU Nomor 32 Tahun 2004 dinilai
tidak memberi cukup ruang bagi camat untuk menjalankan peran yang diharapkan
publik. Peran camat ditentukan oleh bagaimana bupati atau walikota
mendelegasikan kewenangan kepada camat. Masalahnya, di hampir semua daerah di
Indonesia camat belum mendapatkan delegasi kewenangan dari bupati atau wali
kota secara maksimal. Pemerintah daerah cenderung mengedepankan logika sektoral
dan belum mampu memberdayakan kecamatan dalam logika kewilayahan. Sebagian
besar kewenangan lebih banyak dimiliki instansi sektoral. Hal ini diperparah dengan
tidak mudahnya membuka kesediaan instansi sektoral untuk berbagi kewenangan dengan
kecamatan karena terkait dengan pembagian sumber daya.
Meski ada komitmen
menguatkan kelembagaan kecamatan, dalam praktiknya pemerintah daerah masih menemukan
masalah dalam dua hal. Pertama, masih lemahnya pembagian urusan dari instansi
sektoral ke kecamatan. Kedua, adanya kecenderungan untuk melakukan pengaturan
kelembagaan kecamatan yang seragam sehingga gagal merespons kebutuhan dan
konteks lokal kecamatan (Kurniawan, 2008). Pengaturan penyelenggaraan kecamatan
baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik
diatur dengan peraturan pemerintah. Pengembangan kualitas aparatur menyangkut
pengembangan dari segi pengetahuan teknis, teoritis, konseptual, moral, dan
tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan pekerjaan baik dengan jalan pendidikan
maupun pelatihan, magang, dan training agar aparatur tersebut profesional dalam
tugasnya (Sultan, 2007). PP Nomor 19 Tahun 2008 secara eksplisit telah mengatur
tentang hal itu.
Sebagai perangkat daerah,
kecamatan mendapatkan pelimpahan kewenangan dalam hal urusan pelayanan
masyarakat. Selain itu, kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan. Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada bupati atau walikota melalui
sekretaris daerah (sekda). Hal ini bukan berarti camat menjadi bawahan langsung
sekda karena secara struktural camat berada langsung di bawah bupati atau
walikota. Namun, pertanggungjawaban camat tersebut merupakan pertanggungjawaban
administratif. Camat juga berperan sebagai kepala wilayah-wilayah kerja, karena
melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan. Hal ini khususnya
berkaitan dengan tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan
terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundangan, pembinaan desa
atau kelurahan, serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang belum
dilaksanakan oleh pemerintahan desa atau kelurahan serta instansi pemerintah
lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena itu, kedudukan camat berbeda dengan
kepala instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan karena penyelenggaraan
tugas instansi tersebut harus berada dalam koordinasi camat. Kecamatan sebagai
perangkat daerah juga mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan perangkat
daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mendukung
pelaksanaan asas desentralisasi.Kekhususan tersebut dapat ditinjau dari adanya
kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural, menciptakan stabilitas
dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya
ketentraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat
serta masyarakat dalam kerangka membangun integrasi kesatuan wilayah.
Dalam hal ini,
fungsi utama camat, selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, melakukan
tugas-tugas pembinaan wilayah. Secara filosofis kecamatan yang dipimpin oleh
camat perlu diperkuat dan diberdayakan dari aspek sarana-prasarana, sistem
adminitrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya
penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan
yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan
pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/ walikota. Sehubungan
dengan itu, camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari dua sumber, yaitu
bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan dan kewenangan bidang
pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah. Memberdayakan dan mengoptimalkan pelayanan camat berarti
mendekatkan rakyat kepada jajaran aparat yang paling dekat. Permasalahannya
adalah selama ini pemerintahan kota dan kabupaten lebih menjadikan kepala dinas
dan kepala badan sebagai ujung tombak pelayanan.
Ada beberapa alasan mengapa camat harus
mengambil peran dalam proses otonomi daerah.
ü Pertama,
dalam posisi barunya di perundang-undangan, camat adalah ujung tombak kembar
pelayanan kota dan kabupaten. Harus diakui, masih banyak camat yang berbuat dan
bekerja hanya atas perintah atasannya dan kurang mendasarkan pekerjaannya pada
kepentingan masyarakat.
ü Kedua,
pada beberapa negara yang tidak memiliki level kecamatan dalam struktur
pemerintahannya, fungsi pendekatan pelayanan state kepada community ini
diperankan baik oleh neighborhood community. Neighborhood community ini
merupakan kelompok masyarakat dalam kota yang bertujuan mendengar dan meneruskan
apa yang menjadi kebutuhan lokal.
Pondasi dan nilai
utama desentralisasi adalah kehendak untuk mengubah dari kultur top down
menjadi bottom up. Hal ini mempunyai makna, mengubah penguasaan pusat yang
berlebihan menuju kebebasan lokal (kecamatan) yang sewajarnya Desentralisasi
juga menuntut pertahanan sedemikian rupa agar daerah tidak melebihi haknya
untuk berubah. Setiap proses desentralisasi atau otonomi harus diikuti dengan
penyerahan tugas dan kekuasaan. Pada konteks Indonesia, proses ini selalu
dihadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan kapabilitas daerah. Oleh
karena itu, tidak semua kecamatan boleh diberi keleluasaan, hanya kecamatan
dengan kategori dan penilaian kemampuan tinggi boleh diberi wewenang luas,
termasuk dalam hal penanganan konflik sosial di masyarakat.
Pada dasarnya membangun sistem
administrasi pemerintahan yang kuat harus terpusat ke kota karena kota berkecenderungan memiliki
kemampuan finansial yang lebih kuat. Namun, di masa lalu pemerintah pusat terlalu
kuat sehingga mengakibatkan terkikisnya proses desentralisasi. Seharusnya
proses ini perlu dipelihara berkaitan dengan mengikis kecenderungan
terkekangnya posisi camat oleh kedudukan bupati atau walikota. Selain itu, hal
ini juga bertujuan agar camat beserta aparatnya tidak terlalu meminta lebih
dari jatah rasional kekuasaan yang ada. Kesimpulan Perubahan kedudukan camat,
membawa dampak pada kewenangan yang harus dijalankan camat. Kewenangan camat
lebih bersifat umum dan menyangkut pelbagai aspek dalam pemerintahan dan
pembangunan serta kemasyarakatan, sedangkan lembaga dinas daerah maupun lembaga
teknis daerah lebih bersifat spesifik. Berdasarkan Pasal 126 (2) UU Nomor 32
Tahun 2004, kewenangan yang dijalankan oleh camat merupakan kewenangan yang
dilimpahkan oleh bupati atau walikota. Dengan demikian, luas atau terbatasnya pelimpahan
kewenangan dari bupati atau walikota sangat bergantung pada keinginan politis
dari bupati atau walikota yang bersangkutan. Selain itu, camat juga melaksanakan
tugas umum pemerintahan yang merupakan kewenangan atributif sebagaimana diatur
dalam Pasal 126 Ayat 3 UU No 32 Tahun 2004. Tugas umum yang dimaksud itu
berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum se-bagaimana termaktub dalam
UU No 5 Tahun 1974. Pada saat ini tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan
oleh camat, tidak dimaksudkan sebagai pengganti urusan pemerintahan umum
melainkan hanya mencakup tiga jenis kewenangan, yaitu kewenangan melakukan
kordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan
dan kewenangan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini disebabkan camat tidak
lagi berperan sebagai kepala wilayah. Menyadari kedudukan camat yang strategis
itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah (bupati atau walikota) adalah
menjadikan camat sebagai bagian dari pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
otonomi daerah. Selain itu, bupati atau walikota perlu memberikan penguatan
peran camat, melalui pelimpahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
(bupati atau waliksota), termasuk penanganan konflik sosial.
BAB
III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Dari penjelasn diatas sudah jelas
dikatakan dimana kekuasaan camat menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, camat merupakan
kepala wilayah. Namun Pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang
kepala wilayah.
Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam
pasal 80 dinyatakan kepala
wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang
pemerintahan dalam
wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengoordinasikan pembangunan dan
membina kehidupan
masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas, dan
kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewenang, tugas,
dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan walikota.
Namun dengan demikian camat
selaku kepala wilayah mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang dan
mengembangkan potensi wilayahnya untuk mencapai kemakmuran dalam
kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar