BAB I
PENDAHULUAN
Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia
bagian barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi para wisatawan untuk menuju
objek wisata Brastagi di daerah dataran tinggi Karo, objek wisata Orangutan di Bukit Lawang, Danau Toba.
Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John
Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan
sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan
seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun
bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang
menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh
status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan
Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa,
terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara
besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua
orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.[9]
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua
gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun
1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang
Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering
melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa
sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong
untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai
buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.
Sejak tahun 1950, Medan
telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha
di tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah
penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas
kali lipat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Falsafah
Dan Semboyan Kota Medan
2.1.1.
Pengertian Lambang Kota Medan
Pancasila
yang menjadi 17 biji padi berarti tanggal 17 dari hari Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.
8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun 45 dari Proklamasi Indonesia.
Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah lambang perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada dihadapan kita. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar-sinar bahagia dan lepas dari kemiskinan dan kemelaratan.Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Dasar Negara Republik Indonesia.
8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun 45 dari Proklamasi Indonesia.
Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah lambang perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada dihadapan kita. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar-sinar bahagia dan lepas dari kemiskinan dan kemelaratan.Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Dasar Negara Republik Indonesia.
2.I.2.
Motto Kota Medan
''
BEKERJA SAMA DAN SAMA-SAMA BEKERJA UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN MEDAN KOTA
METROPOLITAN ''
Motto Kota Medan ''BEKERJA SAMA DAN SAMA-SAMA
BEKERJA UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN MEDAN KOTA METROPOLITAN''. Motto
tersebut resmi menjadi motto Kota Medan prakarsa ini didasarkan atas arahan
Walikota, tentang perlunya kota Medan memiliki Motto sebagai etos kerja,
prinsip dasar, semangat membangun dan ajakan aktif dalam pembangunan, sebagai
kota Metropolitan pembangunan membutuhkan sumber daya sehingga membutuhkan
simbol-simbol pembangunan. Motto merupakan nilai atau pedoman, Motto
menggambarkan tipe ideal dan etos kehidupan bersama, namun tidak semua orang
menyadari akan Motto tersebut, kota Medan belum punya Motto resmi, dilihat
masyarakat kota Medan yang heterogenitas dan multikultural yang mempunyai
delapan etnis, untuk menggali keutuhan dan persatuan menggalang untuk bekerja
sama memajukan dan membangun kota Medan, diperlukan sebuah Motto. Motto kota
akan dapat melengkapi kebutuhan dimensi moral dan etis dalam proses
pembangunan kota. Dengan Motto kita akan dapat membentuk etos kerja, sikap
dan semangat membangun sekaligus memberikan himbauan yang paling rasional
sehingga diharapkan dapat mengajak masyarakat lebih luas, lebih bergairah
dalam membangun kota, untuk itu adalah kewajiban kita agar Motto Kota Medan
dan lagu Marsnya dapat tersosialisasi dan termasyarakatkan dengan baik.
|
|
|
|
2.2.Falsafah dan Semboyan Suku
Batak
2.2.1.Salam
Khas Batak
Tiap puak
Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan
salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat
yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan
masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
2.2.2.Kekerabatan
Kekerabatan
adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada.
Bentuk
kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja
Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga.
Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan
antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang
menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga.
Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga
lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang
seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan
corak tradisi antar daerah.
Adanya
falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar
kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman
terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu
marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan
Adat.
2.2.3.Falsafah
dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat
Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut
keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba
Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
- Hulahula/Mora adalah pihak
keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati
dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga
kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba
marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut
juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya
lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling
berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang
saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa
terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak
keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini
menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun
walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan
semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan: Elek marboru.
2.3.Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Faktor
penyebab konflik
- Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
- Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda.
- Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
- Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Jenis-jenis
konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :- konflik
antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau
profesi (konflik peran (role))
- Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Koonflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
- Konflik
antar atau tidak antar agama
- Konflik
antar politik.
Akibat
konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai
berikut :- meningkatkan solidaritas sesama anggota
kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
- keretakan hubungan antar kelompok yang
bertikai.
- perubahan kepribadian pada individu,
misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
- kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa
manusia.
- dominasi bahkan penaklukan salah satu
pihak yang terlibat dalam konflik.
Contoh konflik yang ada di Medan sumatera
utara dan cara penyekesaianya
Konflik
Agraria di Medan Deli Serdang Sumatera Utara
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tidak kaget mendengar bentrok antara warga
dengan pihak PTPN II di kebun Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Deliserdang.
Pasalnya, menurut Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin, konflik itu
merupakan konflik laten yang sudah sering terjadi.
"Konflik PTPN II dengan Masyarakat Adat dan Petani yang tergabung dalam
BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) adalah konflik lama yang
belum diselesaikan oleh pemerintah. Wilayah sengketa tanah di Kabupaten Deli
Serdang, yang kerap pecah konflik adalah Tanjuung Morawa dan Persut Sei Tuan,"
ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta.
Iwan mengidentifikasi, beberapa sumber konflik laten ini. Pertama, tanah-tanah
lebih banyak dikuasai oleh perkebunan baik PTPN ataupun Swasta sementara
masyarakat banyak khususnya petani tidak mendapatkan tanah yang cukup untuk
pertanian dan perkebunan.
Kedua, sebagian besar manejemen Perkebunan Negara buruk dan banyak korupsi,
akibat tidak kelola dengan benar, perusahaan banyak melakukan penelantaran
tanah. "Tentu hal ini sangat menyakitkan masyarakat, sebab di tengah
masyarakat kekurangan lahan perkebunan justru menelantarkan tanah. Banyak areal
yang terlantar tersebut akhirnya dikelola oleh masyarakat untuk ditanami,"
terangnya.
Dijelaskan, penelantaran tanah sebenarnya melanggar hukum UUPA 1960, namun
pemda dan BPN seakan membiarkan penelantaran tanah tersebut dan tidak pernah
menyatakan tanah tersebut terlantar untuk dapat dibagikan kepada masyarakat
penggarap.
Ketiga, menurut Iwan, anehnya di atas tanah-tanah yang sedang bermasalah
tersebut HGU tetap diperpanjang oleh BPN-RI. Sesuatu yang melanggar PP 40/1996
tentang Hak Guna Usaha jadi terjadi keanehan HGU bisa terbit di atas tanah
sengketa. Karena sudah bersertifikat, dengan mudah perusahaan perkebunan bisa
memanggil kepolisian atas nama UU No. 18/2004 tentang Perkebunan karena bisa
didenda Rp 5 M atau pidana kurungan sesuai dengan pasal 21 atau 47 UU
Perkebunan.
"Hukum yang keras tentu tidak menyurutkan rakyat melakukan perlawanan atas
dasar hak atas tanah sebagai warga Negara ataupun atas dasar klaim kepemilikan
mereka di masa lalu. Dengan demikian, konflik terus menerus berlanjut,"
ucapnya.
Iwan mengatakan, jika dikembalikan kepada hokum positif yang berlaku, maka
konflik diselesaikan tanpa menyentuh rasa keadilan rakyat. KPA mengusulkan,
solusi awalnya adalah agar Pemerintah, BPN-RI, BPRPI dan PTPN II duduk kembali
untuk sebagai para pihak yang bersengketa dengan mediator yang disepakati.
"Tujuannya selain mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat penunggu
(BPRPI) atas tanah-tanah mereka sesuai dengan pembaruan agrarian yang sudah
diamanatkan oleh presiden melalui PPAN (program pembaruan agrarian nasional).
Mendesain kebijakan perkebunan yang baru dimana partisipasi masyarakat bisa
dilibatkan," bebernya.
Lebih lanjut Iwan mensinyalir, banyak areal perkebunan Negara di Sumut tidak
sesuai antara areal HGU-nya dengan luas lahan yang ada di lapangan. Di
sertifikat HGU misalnya hanya 2000, kebun bisa 3000 hektar. "Ini tidak
semata-mata merugikan Negara dalam hal pajak, namun juga soal korupsi di dalam
perkebunan," ucapnya. Karenanya, dia meminta PTPN II untuk membuka
sertifikat HGU-nya, sehingga bisa diketahui apakah lahan yang disengketakan itu
benar-benar masuk area yang ada di HGU.
Dia menduga, ketidaktransparannya PTPN II membuka berapa area di HGU yang
sebenarnya, mendapat back up dari pemda maupun politisi setempat. "Keadaan
ini banyak didiamkan karena perkebunan Negara adalah sapi perah bagi pejabat
Negara, aparat hukum hingga partai politik," cetus Iwan. Disebutkan pula,
banyak tukar guling areal eks perkebunan untuk menjadi areal komersil non
perkebunan, juga tidak melalui proses hukum yang benar.
Cara Penyelesaian masalah konflik tersebut :
"Untuk menghentikan hal tersebut, harus dilakukan audit atas HGU-HGU di perkebunan Negara maupun swasta," ujarnya. Yang lebih penting lagi, dokumen HGU harus dapat diakses oleh publik, karena pada dasarnya HGU adalah tanah Negara yang disewakan kepada perusahaan. Oleh sebab itu, Komisi Nasional Informasi Publik kedepan harus menyatakan bahwa dokumen HGU adalah dokumen publik.
Iwan juga membeberkan sejarah sengketa perkebunan di Sumut dengan BPRPI. Dalam sejarahnya, tanah-tanah perkebunan Negara di Sumut berasal dari tanah-tanah konsesi dengan pihak kesultanan yang disewa oleh perusahaan belanda pada masa penjajahan. Kebun-kebun tersebut banyak ditanami dengan tembakau deli yang sangat terkenal di dunia.
Namun, lanjutnya, tanah-tanah tersebut sesungguhnya adalah tanah-tanah milik masyarakat adat, dan mereka tetap bisa menanami tanah tersebut dengan bergantian dengan tanaman tembakau khususnya saat tanah diistirahatkan perusahaan perkebunan.
Pada masa Jepang, perkebunan terbengkalai dan pemerintah Jepang meminta masyarakat menanam tanaman pangan untuk kebutuhan perang. Keadaan ini berlanjut hingga zaman revolusi kemerdekaan. Para petani dan masyarakat adat inilah yang menyediakan pangan bagi tentara pejuang.
Namun, sesuai dengan perjanjian KMB, perkebunan tersebut dikembalikan kepada pemilik lama (perusahaan belanda) sehingga rakyat yang menduduki perkebunan kembali keluar dari lahan. Meski pahit, perintah dari pemimpin diikuti oleh rakyat. Namun, hasil-hasil KMB dibatalkan oleh pemerintah pusat sejak Belanda mengulur ulur waktu soal Irian Jaya.
"Karena itu, kebun-kebun swasta Belanda tersebut di nasionalisasi oleh pemerintah dan dijadikan cikal bakal perusahaan perkebunan Negara (PTPN)," ulasnya. Menurut UUPA, hak-hak barat atas tanah dalam perkebunan (erpacht) harus dikonversi menjadi HGU selambat-lambatnya 20 tahun sejak 1960 (UUPA diundangkan). Artinya, pada tahun 1980 semua problem hak-hak barat sudah diselesaikan.
Pada saat mengundangkan UUPA 1960, pemerintah saat itu menyadari bahwa tanah-tanah perkebunan Belanda dahulunya bisa berdiri di atas perampasan tanah-tanah masyarakat. "Oleh sebab itu, sebagian akan dikembalikan kepada rakyat," pungkas Iwan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyarakat
Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut
keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba
Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar