1.PENGERTIAN BUDAYA
POLITIK
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat
dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh
seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan
sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
BAGIAN-BAGIAN BUDAYA
Secara umum budaya politik terbagi atas
tiga :
- Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
- Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja
dimobilisasi)
- Budaya politik partisipatif (aktif)
Tipe-tipe Budaya politik
- Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang
tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu
masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka
terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak
memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe
budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau
masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran
politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau
dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang
bersifat politis, ekonomis atau religius.
- Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang
masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun
ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat
dapat dikatakan subyek jika terdapat frekwensi orientasi yang tinggi
terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau
terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah. Namun frekwensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam
pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan.
Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka
di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem
politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak
suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang
memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan
kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
- Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang
ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu
memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan
suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki
pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum,
tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan
berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat
cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di
atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa
saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di indonesia
== Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di
telaah dan di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai
berikut :
- Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam,
walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang
menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya
relatif masih rawan/rentan.
- Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula
di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi
masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung
jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan
luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
- Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang
di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan,
keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme
dan non puritanisme dan lain-lain.
- kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih
mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya
dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
- Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan
segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai
tradisi dalam masyarakat.
- REDIRECT Nama
halaman tujuan
BUDAYA
POLITIK DI INDONESIA
- Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat
Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat
hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan
tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong
cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat.
Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai
dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar'
kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada
penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi
sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan
rakyatnya.
- Kecendrungan Patronage
Pola
hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di
Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik,
tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku
politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali
dukungn dari basisnya.
- Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah
satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik;
artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik
zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya
politik yang berkarakter patrimonial.
2.BUDAYA POLITIK
SUMATERA UTARA
.
B.SISTEM POLITIK BATAK
Pada saat
konfrontasi kekuatan penjajah dan pasukan Sisingamangaraja, tidak ada
pembahasan di dunia ilmiah, tentang apakah Sisingamangaraja itu seorang
pemimpin negara dan pemerintahan atau hanya seorang pemimpin yang kerdil.Pada saat itu, semua bangsa khususnya yang di Sumatera,
menganggap bahwa Kerajaan Batak di bawah Dinasti Sisingamangaraja merupakan
sebuah nation yang mempunyai kedaulatan dan pemerintahan. Bahkan sejarah
mencatat bahwa Kerajaan ini merupakan kerajaan terakhir yang takluk kepada
penjajah sebelum Aceh.Pembahasan mengenai sistem politik Batak menjadi sangat
rancu saat kekuatan kolonial Belanda berhasil merasuki setiap sum-sum dan urat
nadi sistem sosial dan budaya Batak. Belandaisasi dan Eropaisasi segala
struktur sosial Batak bahkan berhasil membuat orang Batak sendiri untuk
meragukan keberadaan sejarah Bangsa Batak. Bahkan ada yang beranggapan bahwa
Sejarah Sisingamangaraja merupakan mitos belaka.
Saat
itulah tumbuh sebuah pemahaman politik yang bernama “teori state tendency” yang
kira-kira menggambarkan bahwa kerajaan Batak Dinasti Sisingamangaraja tidaklah
layak disebut sebagai sebuah state, nation, negara atau apapun itu dalam
istilah politik. Tapi, sebuah komunitas yang berevolusi yang hampir saja
menjadi sebuah negara namun belum layak menjadi sebuah negara. Teori ini
didukung dengan asumsi bahwa sebenarnya Sisingamangaraja XII belum dan tidak
pernah mempunyai pasukan atau Tentara Nasional yang reguler.
Teori
ini banyak dianut oleh ahli sejarah Batak, bahkan mereka yang berasal dari
pribumi. Adanya teori ini menunjukkan adanya ambivalensi dan konflik moral
kolektif di antara para sarjana Batak. Yang dipicu dengan frustasi yang luar
biasa dengan kemisteriusan Sisingamangaraja sendiri.Puluhan tahun
Sisingamangaraja XII bergerilya dari Dairi sampai akhirnya ditembak pada tahun
1907. Selama puluhan tahun itu pulalah banyak orang yang sudah lupa dan tidak
ingat dengan eksistens Sisingamangaraja dan pemerintahannya. Sejarah ini
semakin kabur saat sanak keluarga Sisingamangaraja XII, dikumpulkan
paska-kematian Raja dan dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan kebiasaan
mereka. Anak-anak yang lugu dan tidak pernah mengenal ayahnya itu tidak
sedikitpun dapat menggambarkan apa dan diapa ayahnya.
Sebenarnya
untuk menentukan sebuah polity, apakah itu negara atau tidak sangatlah mudah.
Semuanya harus sesuai dengan empat syarat. Pertama adanya pemerintah, kedua,
ada rakyat, ketiga ada wilayah dan keempat adanya pengakuan Internasional.
Pemerintahan
Pemerintahan
Pemerintahan
Sisingamangaraja XII perpusat di Bakkara. Eksistensi pemerintahan ini
setidaknya masih eksis sebelum akhirnya Raja dengan pengawalan para pasukan
khusus dari Aceh terpaksa mengungsi ke ibukota kedua kerajaan Batak di Dairi
atau tepatnya Pearaja di Parlilitan.
Pemerintahan
juga mempunyai beberapa pembantu raja yang disebut Pendeta Raja. Baligeraja
(Sorimangaraja), Ompu Palti Raja dan Jonggi Manaor. Di lain pihak terdapat juga
beberapa panglima dan kepala hulu balang.Para hulu balang yang berfungsi
sebagai birokrasi pemerintahan tidak saja berfungsi untuk mengamankan negeri
tapi juga mengumpulkan pajak dari pusat-pusat roda pemerintahan kerajaan. Saat
Raja mengungsi, dikhabarkan turut juga diangkut dari Bakkara keuangan negara
berupa emas dan keping uang yang diangkut dengan puluhan kuda ke Bakkara.
Secara
resmi memang, Sisingamangaraja tidak mempunyai pasukan reguler. Namun, dia
mempunyai loyalitas dari rakyat yang dapat dimobilisasi seketika. Banyak negara
di dunia, bahkan sampai sekarang di kepulauan Pasifik, di mana tidak ada
tentara regulernya. Hanya beberapa orang polisi dan birokrasi. Namun itu tidak
menandakan bahwa negara tersebut bukanlah sebuah negara. Yang pasti keberadaan
tentara rerguler bukanlah syarat bahwa sebuah negara berdiri. Satu hal yang
dipastikan adalah bahwa terbukti tentara Sisingamangaraja XII berhasil menahan
dan mengimbangi pasukan penjajah Belanda sampai tahun 1907.
Semi-Federalisme
Hubungan
antara ibukota pemerintahan dengan huta-huta, bius dan horja dilakukan dengan
hubungan sistem semi-federalisme. Dimana sebuah sub-polity, mempunyai otonomi
yang luas dengan kedaulatan yang berada di Bakkara. Sub-polity tersebut, telah
mempunyai kedaulatan sejak dahulu kala dan kemudian dengan kesadaran politik
untuk membangun keamanan dan melindungi segenap rakyat pada abad pertengahan,
semua kedaulatan disatukan di tangan Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara.
Walaupun begitu setiap sub-polity tersebut masih mempunyai kewenangan dalam
mengurusi dan administrasi wilayahnya.
Disebut
semi-federalisme dan bukan federalisme karena dalam kerajaan Batak terdapat nilai-nilai
negara kesatuan. Nilai negara kesatuan tersebut tercermin dari terpusatnya
struktur legislasi (adat), eksekutif (dalam urusan ke luar negeri dan sebagain
dalam negeri) dan yudikatif. Semua permasalahan, khususnya inter-sub polity
akan diselesaikan di Bakkara. Atau dalam beberapa kesempatan di selesaikan di
Onan Raja, Balige saat semua roda perekonomian rakyat terpusat di Balige. Para
pejabat di sub-polity diangkat atas persetujuan raja.
Kedaulatan
Kedaulatan
Teori
dan prinsip kedaulatan di tanah Batak telah mengalami pasang surut sesuai
dengan kondisi zaman. Banyak kerajaan-kerajaan Batak yang mempunyai kedaulatan
yang bersifat unilateral atau absolut. Di mana kedaulatan berada dalam tampuk
Sultan atau Raja yang kemudian didelegasikan ke beberapa wilayah dalam bentuk
perintah dan otoritas yang diratifikasi oleh pemegang kedaulatan. Contohnya
adalah Kesultanan Barus dan beberapa kerajaan Batak lainnya dimana kedaulatan
yang absolut berada di tangan Raja atau Sultan karena dia diyakini merupakan
pemilik awal kerajaan dan huta yang kemudian berdomisili di dalamnya banyak
orang. Kedaulatan seperti ini bersifat permanen karena kedaulatan itu sendiri
tumbuh dari Raja dan Sultan dan hanya dia yang berhak menggunakannya.
Sementara
itu, kedaulatan yang ada pada Kerajaan Batak Sisingamangaraja XII, bersifat
pluralis. Karena huta-huta atau polity-polity di tanah Batak terlebih dahulu
eksis. Namun karena satu sama lain sering terjadi konflik, kompetisi dan perang
akhirnya dicapailah sebuah kompromi dengan pengakuan terhadap Manghuntal
sebagai Sisingamanraja I yang menjadi Raja pengayom dan penjamim hak-hak azasi
seluruh tanah Batak yang membaiatnya menjadi Raja.
Kedaulatan
polity-polity tersebut akhirnya dipegang oleh satu kekuasaan tertinggi. Mirip
dengan kondisi Leviatan ala Hobbes dengan hipotesanya tentang kondisi
everlasting war antar kelompok rakyat yang pada akhirnya timbul kesadaran untuk
melangkah maju dengan menyerahkan kedaulatan kelompok mereka kepada raja agar
menjadi penjamin dan pemelihara kedamaian. Kedaulatan ini dicapai melalui
konsensus umum atau perjanjian umum.Dalam kronik Raja-raja Barus bahkan
disebutkan ketika Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang akan pergi ke Barus dari
Tarusan, tiba-tiba mengalami kecelakaan di Batu Mundam. Dari sana mereka
meneruskan perjalanan melalui darat ke Silindung. Di Silindung, Sultan bersama
seribu orang pengawalnya menemukan sebuah komunitas Batak yang kosong dengan
penguasa. Orang-orang Silindung tersebut akhirnya dengan penuh kesadaran
meminta Sultan untuk tinggal di Silindung menjadi raja mereka. Permintaan
tersebut dibuat selain karena kesadaran untuk memajukan daerahnya juga untuk
menjamin keamanan dan hak-hak dasar manusia dari rongrongan perbudakan asing,
perampokan dan perang antar huta yang terjadi secara intens
Namun Sultan menolak dengan halus dan mengangkat Raja Berempat dari para pengawalnya untuk menjadi pemimpin dan penguasa di tempat tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Raja Berempat inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Manghuntal paska kenaikannya dalam tampuk kekuasaan menjadi Lembaga Raja Na Opat. Sultan dikabarkan terus berangkat menuju Barus melalui Bakkara dan di Bakkara mereka juga menemukan kondisi masyarakat yang sama.
Namun Sultan menolak dengan halus dan mengangkat Raja Berempat dari para pengawalnya untuk menjadi pemimpin dan penguasa di tempat tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Raja Berempat inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Manghuntal paska kenaikannya dalam tampuk kekuasaan menjadi Lembaga Raja Na Opat. Sultan dikabarkan terus berangkat menuju Barus melalui Bakkara dan di Bakkara mereka juga menemukan kondisi masyarakat yang sama.
Rakyat
Rakyat
kerajaan adalah mereka yang berdomisili dalam kerajaan Batak. Atau paling tidak
dalam wilayah yang tidak diklaim oleh kerajaan lain. Dalam sebuah perjanjian
antara Sisingamangaraja dan Aceh dikatakan bahwa wilayah Singkil diangkui
Sisingamangaraja dalam pengaruh Sultan Aceh dan Sultan Aceh mengakui pengaruh
Sisingamangaraja atas wilayah Karo.
Perjanjian ini secara yuridis formal merupakan upaya kedua kerajaan dalam mendefinisikan dan pengklasifikasian rakyat dalam kedaulatan mereka.
Perjanjian ini secara yuridis formal merupakan upaya kedua kerajaan dalam mendefinisikan dan pengklasifikasian rakyat dalam kedaulatan mereka.
Wilayah
Wilayah
kerajaan sangat jelas. Semua tanah Batak dengan ibukota Bakkara. Untuk
batas-batas kenegaraan dapat dilihat perjanjian antara Kerajaan dengan Aceh,
antara Kerajaan dengan Kesultanan Barus, yang dikenal dengan Hatorusan dan
perjanjian dengan beberapa negara lainnya.
Pengakuan Internasional
Kerajaan
Sisingamanagraja XII tentunya mendapat pengakuan dari kerajaan-kerajaan
lainnya. Bebebrapa surat perjanjian diplomasi antara Aceh dan Batak telah
banyak ditemukan. Bahkan antara kedua kerajaan telah terjadi kerjasama budaya
dan alih teknologi.
Stempel, sistem pasukan, bendera dan sistem kerajaan diyakini telah banyak diserap oleh pemerintahan Sisingamangaraja XII dari Aceh.Selain dengan Aceh, hubungan antara Kerajaan Batak dengan Kesultanan Asahan juga terjalin dengan mesra. Bahkan Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.
Stempel, sistem pasukan, bendera dan sistem kerajaan diyakini telah banyak diserap oleh pemerintahan Sisingamangaraja XII dari Aceh.Selain dengan Aceh, hubungan antara Kerajaan Batak dengan Kesultanan Asahan juga terjalin dengan mesra. Bahkan Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.
Pengakuan
dari Kerajaan Barus (Hatorusan) juga ada. Sekarang ini surat-surat kenegaraan
antar dua kerajaan telah banyak ditemukan. Yang lengkap dibubuhi dengan
stempel, bendera dan lain sebagainya.Disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan melayu
nusantara telah banyak melakukan hubungan diplomasi dengan Batak, yang
menandakan pengakuan meraka akan kedaulatan Batak.
Kerajaan Batak Lainnya: Globalisasi Regional dan Internasionalisme
Sebenarnya
teori “state tendecy” merupakan teory yang sangat gegabah. Di dalamnya
tersembunyi kesan penyederhanaan masalah yang dipaksakan dan juga generalisasi
yang menyesatkan. Tampak teori ini sengaja dimunculkan untuk melegalisasi dan
menjustifikasi penjajah Belanda dan elemen-elemen Eropanya. Dengan bergulirnya
teori ini maka penjajahan tersebut nampak sebagai sebuah “pencerahan” terhadap
sebuah bangsa “primitif” yang bersifat stateless dan tak berbudaya. Sadar atau
tidak asumsi ini sangat kontradiktif dengan fakta-fakta sejarah.
Pertama
adalah bahwa kerajaan Batak Dinasti Sisingamangaraja memang memenuhi syarat
sebagai negara dan yang kedua bahwa terdapat banyak kerajaan Batak yang telah
lebih dulu bersifat modern dan bahkan layak disebut sebagai negara modern.
Contoh-nya adalah Kesultanan Barus (Hatorusan dan Hulu) yang mempunyai sistem dual-government, yang mendapat pengakuan dari beberapa negara dan bahkan oleh VOC sebelum mereka bangkrut. Kesultanan ini, mempunyai bendera, stempel kerajaan, kementrian, perdana menteri, konstitusi, istana negara, lembaga-lembaga peradilan dan sosial dan lain sebagainya. Walaupun eksistensinya telah dipunahkan oleh penjajah Belanda, namun tidaklah sebuah tindakan yang bijak untuk menghilangkannya dari peta. Karena penjajahan itu sendiri adalah illegal dan segala yang illegal tidak layak diakui sebagai sebuah justifikasi atas keberadaan dan kelenyapan sebuah negeri.
Contoh-nya adalah Kesultanan Barus (Hatorusan dan Hulu) yang mempunyai sistem dual-government, yang mendapat pengakuan dari beberapa negara dan bahkan oleh VOC sebelum mereka bangkrut. Kesultanan ini, mempunyai bendera, stempel kerajaan, kementrian, perdana menteri, konstitusi, istana negara, lembaga-lembaga peradilan dan sosial dan lain sebagainya. Walaupun eksistensinya telah dipunahkan oleh penjajah Belanda, namun tidaklah sebuah tindakan yang bijak untuk menghilangkannya dari peta. Karena penjajahan itu sendiri adalah illegal dan segala yang illegal tidak layak diakui sebagai sebuah justifikasi atas keberadaan dan kelenyapan sebuah negeri.
Orang-orang
Batak dengan berbagai kerajaan berdaulat yang berhasil mereka dirikan di
Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau, sebenarnya telah mengalami
sebuah globalisasi regional. Di satu sisi mereka terikat dengan loyalitas
mereka kepada nationality atau kewarganegaraan di mana mereka menetap namun di
pihak lain sesama masyarakat Batak, hubungan ekonomi dan politik dapat
berlangsung sebegitu eratnya melebihi batas-batas nasionalitas yang dibutuhkan
oleh formalitas sebuah negara. Bila globalisasi diartikan sebagai sebuah
tendency masyarakat borderless, maka orang Batak telah mengalaminya terlebih
dahulu antara abad pertengah sampai abad ke-18 sebelum bercokolnya si Penjajah.
Nilai-nilai
lainnya yang dipegang oleh orang Batak saat itu adalah nilai Internasionalisme
yang sangat kuat dan mengakar. Loyalitas individu dan masyarakat bisa saja
secara yuridis formal diberikan kepada sebuah lembaga pemerintahan yang
berkuasa, namun orang Batak sangat sadar bahwa sebuah komunitas walau itu yang
memiliki faham splendid isolation sekalipun tidak akan dapat hidup secara egois
tanpa interaksi dengan masyarakat internasional. Internasionalisme di sini
berarti bahwa orang Batak sangat sadar bahwa manusia di bumi ini atau di
portibi on, merupakan layaknya sebuah huta, bius atau horja. Di mana setiap
orang mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan oleh adat dalam hal ini oleh
hukum-hukum internasional. Jadi tempat manusia hidup di Bumi adalah huta
internasional atau huta portibi. Oleh karena itulah, orang Batak dari dahulu
kala sangat yakin bahwa Tuhan dari segala manusia (tanpa pandang bulu) adalah
Mulajadi Na Bolon yang kira-kira bermakna Tuhan Yang Maha Besar.
C.KEPEMIMPINAN DAERAH DALAM BUDAYA POLITIK
Kepemimpinan merupakan hal
yang relatif abstrak. Ia merupakan seni dan pola-pola sistematis yang
terkadang sulit diukur konsistensi dan karakternya. Beberapa dari kita sering
mengeneralisasi seorang pemimpin, misalnya, dengan mengatakan pemimpin ini
otoriter, karismatis dan populis sedangkan pemimpin yang lain demokratis dan
dapat menerima pendapat orang lain.
Pada dasarnya membagi tipe
pemimpin bukanlah hal yang salah, tetapi menganggap seorang pemimpin hanyalah
orang yang terbentuk dan bekerja dengan hanya satu pola kepemimpinan dan
menghilangkan sisi kemanusiaannya yang secara fitrah dinamis, maka kita hanya
melihat pemimpin di ruang hampa.
Seorang pemimpin juga merupakan
manusia biasa, ia akan selalu mengambil kebijakan berdasarkan berbagai
pertimbangan, baik pertimbangan kondisi masalah, situasi, dampak dari
kebijaikannya, aturan yang ada, hirarki kekuasaan dan sebagainya. Oleh karena
itu adalah suatu hal yang logis jika pengukuran kelayakan seseorang
ditempatkan sebagai pemimpin daerah tidak berdasarkan tampilan pribadi, gaya
retorika, janji-janji manis, apalagi ketampanan fisik.
Seluruh penilaian kelayakan
tersebut haruslah berorientasi kepada kepahaman akan kondisi daerah dan
permasalahannya serta solusi yang efektif, tingkat intelektualitas,
keberpihakan pada masyarakat miskin dan pinggiran yang keseluruhannya
terdapat pada visi yang strategis dan solutif. Berbagai indikator kelayakan
tersebut hanya dapat terwujud jika pemimpin daerah memiliki track record dan
moralitas yang baik.
D.PERMASALAHAN DAERAH DALAM BUDAYA POLITIK DI SUMATERA UTARA
Berada di dalam sistim
demokrasi diharapkan memberi kontribusi positif yang menyentuh langsung
kepada masyarakat bawah. Sebuah harapan yang sangat wajar dari pandangan
setiap orang pada demokrasi itu sendiri. Sebagai sebuah negara yang
berorientasi pada walfare state sudah seharusnya pemerintah menjadi
sarana dalam memberikan rasa aman, kemakmuran dan pemerataan pendidikan.
Masih banyaknya kebutuhan
masyrakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah membuat siapapun yang
menjadi kepala daerah nantinya akan berhadapan dengan berbagai permasalahan.
Selain berbagai permasalahan pokok, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
penerangan, air bersih dan murah, dan lain-lain, masih ada satu permasalahan
yang menjadi permasalahan di banyak daerah, yaitu pedagang kaki lima.
Ketika kita ingin menilai
permasalahan pedagang kaki lima secara solutif, maka terlebih dahulu harus
melihat mereka sebagai sebuah kelompok manusia yang memiliki kebutuhan
hidup yang sama dengan seluruh manusia. Oleh karena itu kita haruslah
memperlakukan mereka sebagai manusia dan bagian dari bangsa ini yang mampu survive
dalam menghadapi buruknya manajemen perekonomian daerah.
Mereka mengenal estetika
dan mereka juga paham fungsi regulasi dan pranata sosial, tetapi mereka juga
mempunyai kebutuhan pokok, pendidikan anak-anak mereka yang seharusnya
dijamin oleh konstitusi, dan kesejahteraan hidup. Seluruh kebutuhan tersebut
tentunya merupakan sebuah universal value yang tidak dapat dipisahkan
dari dunia moderen hari ini.Mungkin seharusnya pemerintah berpikir sedikit
manusiawi. Berapa ribu orang yang telah mereka buat tidak makan, tidak ada
ongkos pergi ke sekolah, dan tidak mampu membayar buku? dari penggusuran yang
mereka lakukan dengan gagah dan bijaksana.
Sebuah pemandangan yang
sangat miris jika kita melihat pamong peraja melakukan penggusuran di
pasar-pasar tradisional. Tidak jarang menyakiti ibu-ibu yang sudah tua,
menginjak barang dagangan dari hutang sana-sini, bahkan ada yang sampai harus
kehilangan anaknya akibat penggusuran. Belum lagi ditambah dengan pungutan
liar petugas dan juga preman pasar yang terkadang sulit dibedakan, yang mana
preman yang mana petugas. Persis seperti zaman kolonial atau bahkan jauh
lebih kejam dari itu.Terlepas dari semua permasalahan daerah yang ada, sudah
menjadi sebuah konsekuensi logis dari sebuah perbaikan politik , hanya dapat
tercipta jika proses berpolitik memiliki pola-pola konstruktif yang
konsisten.
Keseluruhan harapan
tersebut hanya akan dapat terwujud dari tangan-tangan yang sudah teruji
integritas pribadinya, track record yang baik juga moralitas yang
tinggi dan yang terpenting orientasi berfikir yang menjadikan masyarakat
kecil sebagai pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar