Jumat, 24 Mei 2013

Hubungan Kepala Daerah dan DPRD


BAB I
P E N D A H U L U A N


1.1.Latar Belakang

Dengan adanya upaya mewujudkan otonomi daerah, persoalan hukum pemerintah daerah semakin luas, kompleks, dan banyak hal yang perlu dikaji. Salah satu hal yang sangat mendasar adalah masalah “hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah”.Secara historis, hubungan kedua lembaga pemerintahan daerah tersebut mengalami pasang surut, dalam periode tertentu DPRD lebih dominan, dalam periode lain Kepala Daerah lebih dominan. Pola hubungan demikian belum memberikan suatu iklim yang kondusif dalam proses mewujudkan otonomi daerah di Indonesia.Berpedoman pada kelemahan dan pola-pola yang lalu, di masa datang harus dibangun suatu konsep atau prinsip seimbang, setara (sederajat), dan kemitraan atas semangat “check and balance” yang pengaturannya dirumuskan secara tegas di dalam UUD 1945 dan dijabarkan di dalam UU tentang pemerintahan daerah.Manfaat buku ini bagi meneka yang haus akan ilmu antara lain meningkatkan wawasan intelektualitas dan wibawa dalam memahami dinamika kehidupan politik dan hukum yang kadang dipikirkan sangat tidak ideal.

Dalam sejarah administrasi publik pernah dipersoalkan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif secara riil, yang dikenal dengan “dikotomi administrasi politik” tetapi ternyata dunia legislatif dan eksekutif bukan dunia dikotomis. Meskipun memiliki fungsi yang berbeda tetapi sifat dari fungsi tersebut sangat komplementer atau saling mengisi.

Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 2001, peluang penelitian dengan menggunakan perspektif keagenan (agency theory) terbuka lebar. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan kemitraan DPRD dan Kepala Daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat?
2. Hubungan kerjasama DPRD dengan Pemerintah Daerah?
1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kemitraan DPRD dan Kepala Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat ini, adalah “Keterkaitan antara DPRD dan Kepala Daerah sebagai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat”.

































BAB II
P E M B A H A S A N


2.1 Kemitraan DPRD dan Kepala Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat

Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diteropong untuk diketahui bersama antara keduanya dalam membangun hubungan yang ideal dan harmonis yakni:

pertama, legitimasi kekuasaan. Kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) ini sama-sama mendapat legitimasi rakyat, keduanya dipilih rakyat secara langsung. Yang membedakan legitimasi tersebut adalah derajatnya. Tak dapat disangkal bahwa legitimasi kepala daerah/wakil kepala daerah lebih besar dibanding dengan DPRD.

Kedua, masyarakat di daerah. Bagi eksekutif, masyarakat adalah pihak yang harus dilayani, dipuaskan dengan berbagai kebijakan populis yang dibuat bersama legislatif. Sedangkan bagi DPRD yang berasal dari parpol, masyarakat adalah konstituen dan basis politik yang sangat mempengaruhi evolusi partai yang berjalan linear dengan kepentingan individunya. Masyarakat baik bagi parpol maupun pemerintah daerah adalah sumber legitimasi, dan mandat politik atau kekuasaan.

Ketiga, posisi politik masing-masing. Baik DPRD maupun pemerintah daerah merupakan mitra sejajar dan penyelenggara pemerintahan di daerah (Pasal 19). Peran tersebut harus diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayananan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkaan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.

Keempat, saling memahami tugas, wewenang, kewajiban dan bahkan larangan yang sudah digariskan oleh UU Pemda. Misalnya untuk kepala daerah /wakil kepala daerah (Pasal 25, 26, 27, dan 28) dan untuk DPRD (Pasal 42, 43, 45, dan 54). Ketika memasuki wilayah praktis-politis untuk meletakkan hubungan kemitraan dengan eksekutif, DPRD hanya memperhatikan fungsinya seperti yang diamanatkan oleh UU Pemda Pasal 41 menyangkut tiga (3) hal: Pertama, hubungan (dalam konteks) legislasi.

Berdasarkan UU nomor 22 tahun 1999 legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar.

Hubungan antara kedua lembaga negara ini dalam UU nomor 32 tahun 2004 adalah pada saat membuat peraturan daerah (perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 – syarat perda dan Pasal 138 – asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD-Pasal 181).
Sebelum menjadi sebuah perda yang bersifat tetap, maka perda harus melalui beberapa tahap yakni:
a) sosialisasi,
b) penetapan, dan
c) pengundangan.

Tujuan dari pertimbangan diatas antara lain:
a) demi kualitas kandungan dan sisi pandang yang komperhensif dari sebuah perda,
b) agar perda tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (136 ayat 4). Sehingga sebisa mungkin, masyarakat dilibatkan secara aktif terlebih pers, LSM dan Intelektual kampus (Pasal 139 ayat 1).

2.2.Hubungan Kerjasama DPRD dengan Pemerintah Daerah

Dalam konstelasi pemerintahan di daerah, DPRD pada hakekatnya di samping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat, juga sebagai mitra / partner eksekutif dalam merumuskan kebijaksanaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah, selain itu kedua lembaga itu juga mempunyai kedudukan yang sejajar.

Pada ulasan terdahulu disebutkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak dikenal lagi penyebutan DPRD sebagai Lembaga Legislatif Daerah, Termasuk penyebutan kesejajaran dan mitra dalam melaksanakan tugasnya masing-masing sebagaimana disebutkan pada pasal 16 ayat (2) undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa, Dalam kedudukannya sebagai badan Legislatif Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dan Pemerintah Daerah. Dengan tanpa menguraikan makna mitra itu sendiri secara lebih mendetail.

Namun sebagai lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah, hal ini sebagai mana diatur dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedudukan yang setara bermakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.

Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Hal tersebut bertujuan agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antara lembaga legislative dan eksekutif, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari penelitian atau pengambilan kebijakan secara bersama-sama, juga dapat dilihat dari pengaturan akan setiap penyelenggaraan pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi pengaturan akan posisi Pimpinan dan Anggota DPRD pada setiap acara yang digelar secara resmi/formal.

Kedudukan lembaga DPRD dengan Pemerintah Daerah adalah sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintrah Daerah oleh sebab itu, lembaga DPRD merupakan badan legislative daerah yang berfungsi menetapkan tugas pemerintahan di bidang politik, sedangkan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif daerah, berfungsi menyeleggarakan pelaksanaan dari pada garis-garis besar haluan pembangunan daerah (GBHD) yang telah ditetapkan oleh badan legislative daerah.

Menurut Penulis, DPRD sebagai mitra kerja eksekutif, tentu dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah, jadi DPRD sebagai mitra eksekutf tersebut bukanlah berarti bekerja sama untuk memenuhi kepentingan masing-masing pihak dalam arti kepentingan perseorangan, kelompok dan atau kepentingan Partai akan tetapi semata-mata antar dua lembaga tersebut dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang telah disepakati secara bersama-sama dapat diimplemntasikan untuk kepentingan rakyat di daerah dan Negara. Serta masing-masing lembaga dalam pelaksanaan fungsinya bisa saling memahami akan tugas yang melekat pada masing-masing lembaga tersebut secara proporsional, dengan tanpa saling mencurigai, membawahi, lebih menonjolkan/mendominasi dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana sebaiknya pola hubungan antar Kepala Daerah dengan DPRD kedepannya, Sekjen Depdagri Siti Nurbaya ketika membuka seminar “hubungan Eksekutif dan Legislatif’ mengemukakan tiga pola hubungan Legislatif-Eksekutif yang secara realistic dapat dikembangkan. Ketiga hubungan itu adalah, pertama, bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi, Kedua, bentuk kerja sama atas beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi, dan ketiga, klarifikasi atas berbagai permasalahan. Ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik eksekutif maupun Legiiatif dan yang paling berat dirasakan kedua belah pihak mungkin dalam hubungan kiarifikasi.

Namun, kolaborasi tersebut hanya mungkin menjadi kenyataan jika dikembangkan etika yang dapat merefleksikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekrja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya Pemerintah Daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif. yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.

Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislative tersebut meliputi hal-hal, yaitu : representasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan peraturan daerah, pengangkatan sekretaris daerah, pembinaan dan pengawasan. Kesemua hal tersebut dapat terwujud, dan berjalan sebagaimana diharapkan bilamana baik eksekutif maupun legislative memiliki visi bersama yaitu suatu visi yang bukan saja menyangkut kelembagaan, tetapi juga secara individual mereka merasa benar-benar terikat (committee), karena hal tersebut mencerminkan visi pribadi masing-masing.

Harmonisasi hubungan antara eksekutif dan DPRD dalam kontek tata laksana penyelenggaraan pemerintahan di daerah sedikit banyak ikut menentukan terciptanya situasi yang kondusif bagi keberhasilan program-program pembangunan daerah. Karena itu pola hubungan yang seimbang dan egaliter antara dua lembaga tersebut perlu terus menerus ditingkatkan sebagai upaya menjaga stabilitas politik di daerah. Dengan demikian, dalam beberapa kasus kerap terjadi disharmonisasi hubungan antara eksekutif dan DPRD, baik dalam konteks kesalahpahaman dalam menerjemahkan makna substansi undang-undang, maupun lebih bersifat politik. Bahkan fluktuasi hubungan antara kedua lembaga tersebut tidak mustahil mengarah pada terjadinya konflik politik. Hal ini menurut penulis, bisa dicerna dalam dua hal, pihak eksekutif yang belum sepenunhnya memahami ataukah pihak legislative yang kerap mengarah pada perilaku “politicking”. Jika hal ini terjadi pada level legislatif atau anggota-anggota DPRD, maka sudah seharusnya dan sepantasnyalah jajaran DPRD untuk mawas diri dan melihat kedepan terhadap substansi persoalan, bukan malah mempolitisasi sehingga permasalahan yang begitu prinsipil hanya dijadikan komoditas politik belaka.

Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Pemerintah Daerah di era Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah berkedudukan sebagai Lembaga Eksekutif Daerah, sedangkan DPRD berkedudukan sebagai Lembaga Legislatif Daerah. Disini tergambar adanya checks and balances dalam pemerintahan (terlepas dan implementasinya banyak menimbulkan persoa1an). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat (3), Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah. Dan DPRD dirumuskan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah.

Di sini sangat tampak terjadi degradasi kedudukan dan peran DPRD sebagai lembaga Legislatif Daerah, DPRD diformat sedemikian rupa sehingga menempel sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian power DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat yang memperjuangkan segala aspirasi dan kepentingan rakyat untuk diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sedikit mengalami penurunan. DPRD kemudian diasumsikan hanya bekerja dalam format politik berdasarkan undang-undang otonomi yang baru.

Boleh dikata, DPRD di bawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengalami kemunduran, yaitu dan Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. DPRD yang semula diposisikan layaknya DPR untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Kepala Daerah, menjadi harus bersama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hampir sama posisinya dengan posisi DPRD di bawah undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. dan sisi psikologi politik perundang-undangan juga terjadi semangat uang berbeda. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur lebih dahulu DPRD yang merupakan representasi dan rakyat, dan Kepala daerah yang diberi amanat untuk menjalankan pemerintahan daerah. Sedangkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendahulukan pengaturan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mungkin juga dengan asumsi Kepala Daerah akan dipilih langsung. Hal ini bukan soal salah-benar, tetapi soal bahwa secara politis, mernang DPRD diposisikan tidak lebih penting dan Kepala Daerah. Reduksi yang paling mencolok dan peran DPRD adalah hilangnya Pasal 16 ayat (2) dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebut DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.

Dari segi tehnis perundang-undangan, memang segala kehendak, aspirasi, dan kepentingan Pemerintah Pusat, akan menjadi politik hukum dalam membuat peraturan pemerintah tersebut. Secara filosofis, sebenarnya nyawa otonomi tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Bukan soal kewenangan DPRD akan dibatasi atau dikurangi yang menjadi soal, tetapi berhak kah sesuai dengan semangat otonomi, Pemerintah Pusat mengatur eksistensi lembaga seperti DPRD, sehingga bisa mengancam posisi politik dan kinerja DPRD ? “Posisi DPRD menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sudah kuat, tinggal terus merajut untuk bagaimana menjadi wakil rakyat yang merakyat, bukan dengan memformat ulang dengan melakukan ‘pembonsaian’ demokratisasi DPRD”.

Bila dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan tempat yang berbeda antara lembaga legislative dengan lembaga eksekutif. Di dalarn pasal 14 ayat (1) dinyatakan “ Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai badan Eksekutif Daerah”. Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah Daerah adalah hanya “kepala Daerah beserta Perangkat Daerah lainnya”. Dan yang perlu kita catat adalah kedudukan diantara kedua lembaga tersebut bersifat sejajar dan menjadi mitra sekaligus.

Seperti diterangkan diatas, bahwa sebagai lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Kedudukan yang setara berrnakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah merniliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Hal tersebut bertujuan agar masing-masing memperoleh hak  an melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislative, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan tentang kedudukan protokoler Pimpinan dan Anggota merupakan pedoman pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi Pemerintahyang diselenggarakan di daerah sehubungan dengan jabatannya sebagai Pimpinandan anggota DPRD. Pengaturan dimaksud meliputi pengaturan tata tempat, tatau pacara, dan tata penghormatan.




























BAB III
P E N U T U P


3.1.Kesimpulan
DPRD di bawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengalami kemunduran, yaitu dan Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. DPRD yang semula diposisikan layaknya DPR untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Kepala Daerah, menjadi harus bersama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hampir sama posisinya dengan posisi DPRD di bawah undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. dan sisi psikologi politik perundang-undangan juga terjadi semangat uang berbeda. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur lebih dahulu DPRD yang merupakan representasi dan rakyat, dan Kepala daerah yang diberi amanat untuk menjalankan pemerintahan daerah. Sedangkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendahulukan pengaturan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mungkin juga dengan asumsi Kepala Daerah akan dipilih langsung. Hal ini bukan soal salah-benar, tetapi soal bahwa secara politis, mernang DPRD diposisikan tidak lebih penting dan Kepala Daerah. Reduksi yang paling mencolok dan peran DPRD adalah hilangnya Pasal 16 ayat (2) dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebut DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar