BEDAH PERATURAN DAERAH PROVINSI
JAWA TENGAH NO.7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH
A. ASAS-ASAS
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
NO
|
ASAS
|
URAIAN
|
|
|
FORMIL
|
|
|
1
|
Kejelasan tujuan
|
|
|
2
|
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
|
Perda ini sudah memenuhi asas kelembagaan/organ pembentuk yang
tepat yaitu DPRD Provinsi Jawa Tengah dan Gubernur Jawa Tengah.
|
|
3
|
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
|
Di
dalam perda ini telah diatur materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya, yaitu memuat peraturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi
|
|
4
|
Dapat dilaksanakan
|
Peraturan daerah ini secara filosofis, yuridis dan sosiologis
dapat dilaksanakan
|
|
5
|
Kedayagunaan dan kehasilgunaan
|
Perda
ini telah memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam menciptakan kemudahan pelayanan
untuk meningkatkan realisasi penanaman modal.
|
|
6
|
Kejelasan rumusan
|
Perda
ini telah memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas
dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
|
|
7
|
Keterbukaan
|
Dalam
proses Pembentukan Peraturan Daerah ini mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan,
dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
|
|
|
MATERIIL
|
|
|
1
|
Pengayoman
|
bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
|
|
2
|
Kemanusiaan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional
|
|
3
|
Kebangsaan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|
4
|
Kekeluargaan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
|
|
5
|
Kenusantaraan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
|
|
6
|
Kebhinneka Tunggal Ika-an
|
Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
|
|
7
|
Keadilan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporcional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
|
|
8
|
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
|
|
9
|
Ketertiban dan kepastian hukum
|
setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
|
|
10
|
Keseimbangan, kesetaraan dan keselarasan
|
setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.
|
B. KONTROVERSI
DALAM PERDA JAWA TENGAH NO.7/2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA
TENGAH
Kontroversi pertama,
di dalam pasal 2 peraturan Daerah Nomor 7
disebutkan bahwa salah satu asas dari penanaman modal didasarkan pada
“perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal penanam modal.” Dari sini dapat
ditangkap pemahaman bahwa pemerintah daerah propinsi Jawa Tengah dalam hal ini
berkomitmen untuk memperlakukan secara sama atau sejajar kepada para pemodal di
daerah propinsi Jawa Tengah baik itu pemodal yang berasal dari dalam negeri
maupun pemodal yang berasal dari luar negeri. Perhatikan bunyi pasal 12 ayat 1
dan ayat 2 berikut dibawah ini :
Pasal
12 ayat (1)
Penanaman
modal dalam negeri dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum,tidak
berbadan hukum atau usaha perseorangan
Pasal
12 ayat (2)
Penanaman
modal asing wajib dalam berbentuk perseorangan terbatas (PT) berdasarkan hukum
di Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara RI ,kecuali ditentukan lain
oleh Undang-Undang
Perhatikan
juga bunyi pasal 13 ayat (1) berikut ini :
Psal
13 ayat (1)
Setiap
penanaman modal yang menanamkan modalnya di daerah wajib memiliki ijin
penanaman modal dari gubernur kecuali penanam modal mikro dan kecil
Penulis
melihat adanya ketidak konsistenan dalam ketentuan yang menyebutkan bahwa
antara pemodal dalam negeri dan pemodal luar negeri “diperlakukan sama “ dalam
peraturan daerah tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 2 peraturan daerah
tersebut. Dalam ketentuan pasal 2 tersebut dikatakan bahwa semua pemodal yang
menanamkan modalnya di daerah propinsi Jawa Tengah diperlakukan sama tanpa
perkecualian,tetapi di dalam pasal 12 dan 13 ketentuannya berbunyi bahwa para
penanam modal itu tidak diperlakukan sama.
Di
dalam pasal 12 ayat 2 tersebut menyebutkan bahwa penanam modal dari luar negeri
harus berbentuk perseroan terbatas (PT) kecuali penanam modal yang berasal dari
dalam negeri. Sedangkan pemilik modal dalam negeri untuk mendapatkan ijin tidak
perlu berbentuk PT kecuali penanam modal yang berskala mikro atau kecil. Dari
perbedaan perlakukan ini akan memunculkan kontroversi lebih lanjut. Dimana
kontroversinya ?
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah
melalui peraturan daerah nomor 7 tahun 2010 seakan-akan memberikan peluang bagi
para pemodal luar negeri yang bermodal besar saja, indikasinya dapat dilihat
dari ketentuan yang menyebutkan bahwa pemilik modal luar negeri yang bisa
menanamkan modalnya di dalam negeri hanya pemilik modal yang berbadan hukum PT
saja. Sebagaimana diketahui bahwa untuk menjadi sebuah PT tentunya modal yang
tersedia harus cukup besar atau dapatlah dikatakan bahwa modal besar adlah
syarat utama bagi pemodal luar negeri untuk menjadi sebuah PT. Berangkat dari
asas persaingan yang digunakan dalam penyelenggaraan penanaman modal di daerah
propinsi Jawa Tengah, rupa-rupanya pemerintah propinsi Jawa Tengah bermaksud
untuk menggiring para pengusaha kecil dan menengah di propinsi Jawa Tengah
bersaing dengan para pemodal –pemodal dari luar negeri. Artinya, ketika ada
pihak yang menang dalam pertarungan tersebut, maka konsekuensinya pihak yang
kalah itu harus bersedia dicaplok oleh yang menang “gulung tikar.” Logikanya
pertarungan ini kemudian membawa kita untuk mengakui bahwa biasanya pihak yang
kuat (penanam modal besar) yang akan mampu mememnangkan pertarungan.
Kontroversi yang ke-2, pasal 17 butir D menyebutkan bahwa setiap penanam modal wajib, dalam hal
perekrutan, mengutamakan tenaga daerah sepanjang memenuhi kriteria kecakapan
yang diperlukan. Berangkat dari ketentuan ini yang menjadi pertanyaan kemudian
adalah bagaimana jika ada anggota warga masyarakat daerah propinsi Jawa Tengah
yang tidak memiliki kecakapan yang diperlukan ? harus bekerja kemana
orang-orang yang tidak memiliki kecakapan yang tidak diperlukan tersebut ? apa
ukurannya seseorang dianggap memiliki kecakapan yang diperlukam oleh perusahaan
bersangkutan ?
Pendidikan
murah di Indonesia, pada saat ini, berhenti pada tingkatan SMP dan itupun hanya
berlaku pada sekolah-sekolah berplat merah atau sekolah negeri. Selepas
bersekolah di SMP dan kemudian orang ahrus melanjutkan sekolah di tingkat SMA
orang akan disiksa oleh mahalnya ongkos dunia pendidikan terlebih lagi ketika
masuk kuliah, tidak semua orang bisa masuk kulih karena mahalnya ongkos kuliah
yang naudzubillahminzalik. Mahalnya ongkos dunia pendidikan selepas SMP ini
secara logis akan berkonsekuensi terhadap banyaknya remaja usia sekolah yang
tidak melanjutkan sekolahnya pada tingkatan yang lebih tinggi. Nah, berangkat
dari banyaknya orang yang tidak memiliki pendidikan setingkat SMA , dihubungkan
dengan syarat perekrutan di dunia kerja tersebut, maka sudah tentu akan banyak
pengangguran karen syarat minimal yang biasanya ditentukan oleh perusahaan baik
lokal maupun multinasional yang menanam kan modalnya di daerah adalah
berpendidikan Perguruan tinggi. Pemerintah daerah propinsi Jawa Tengah yang
bertujuan ingin menyejahterakan rakyatnya dengan cara membuka kesempatan para
pemodal menanamkan modalnya di daerah agar dapat terciptanya lapangan kerja
akhirnya hanya omong kosong belaka. Kesejahteraan untuk rakyat propinsi Jwa
Tengah akhirnya hanya kamuflase belaka jika tidak dibarengi dengan
digratiskannya orang untuk bersekolah sampai tingkat Perguruan Tinggi atau
Universitas.
Kontroversi yang ke-3,
di dalam perda tersebut ditentukan bahwa perusahaan-perusahaan (para penanam
modal ) diwajibkan untuk bersaing secara sehat. Berangkat dari ini pernyataan
yang dapat disodorkan adalah : seperti apa persaingan usaha yang sehat itu ?
apakah hanya mencegah praktik monopoli ? dan seperti apa persaingan yang tidak
sehat yang dianggap merugikan kepentingan daerah ?
Pelarangan
persaingan yang tidak sehat yang ditujukan untuk mencegah terjadinya praktik
monopoli sebenarnya hanya menguntungkan para pemilik modal yang tentunya dalam
menjalankan usahanya tidak terlepas dari aktivitas jual-beli hasil perodksi di
pasar-pasar kapitalis. Namun bagaimana halnya dengan nasib rakyat kecil atau
rakyat di lapisan akar rumput yang dirugikan oleh adanya persaingan tersebut,
apakah perda propinsi Jawa Tengah memikirkan nasib mereka ? Akhirnya rakyat
kecil di lapisan akar rumput harus mengalah dan tersingkir demi untuk
kepentingan para pemilik modal yang menanamkan modalnya di daerah propinsi Jawa
Tengah demi logika pertumbuhan yang mensyaratkan peningkatan konsumsi
masyarakat berpunya dan peningkatan hasil produksi yang harga jualnya jauh dari
masyarakat miskin dan tersingkir.
Kontroversi ke 4
, pada pasal 24 peraturan daerah nomor 7 tahun 2010 masyarakat daerah provinsi
jawa tengah diposisikan sebagai pihak yang diharuskan untuk mendukung penanaman
modal dan pemantau dilaksanakannya penanaman modal. Pemantauan tersebut dalam
pasal 24 tersebut disebutkan dapat dilakukan oleh masyarakat secara sosiologis
dan juga secara yuridis formal semata. Secara sosiologis adalah pemantauan
dampak negatifnya dalam kehidupan masyarakat dan pemantauan secara yuridisnya
adalah pemantauan terhadap dijalankannya atau tidak peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penanaman modal oleh para penanam modal
yang tengah menjalankan usahanya di provinsi Jawa Tengah. Lebih jauh lagi,
melalui pasal 24 tersebut , masyarakat daerah provinsi jawa tengah diharapkan
dapat menumbuhkembangkan dan memelihara rasa kebersamaan antara warga
masyarakat dengan para penanam modal. Nah, untuk menunjang peran serta
masyarakat tersebut Badan Penyelenggara Penanaman Modal Daerah dititahkan oleh
Peraturan Daerah nomor 7 Tahun 2010 tersebut untuk memfasilitasi warga
masyarakat Provinsi Jawa Tengah.
Ketentuan
tentang peran serta masyarakat dalam penanaman modal ini sepertinya adalah
strategi yang digunakan oleh pemilik modal dan pemerintah daerah untuk
menjinakkan masa kritis. Dengan pelibatan dan pelatihan masyarakat terhadap
penanaman modal tersebut masyarakat digiring untuk memusatkan perhatiannya pada
hal-hal yang menguntungkan para pemilik modal sambil mengalihkan dan membendung
perhatian masa terhadap hal-haal yang bersifat merugikan kepentingan para
pemilik modal seperti misalnya isu tentang kesejahteraan buruh, eksploitasi
buruh dan hak-hak buruh secara fundamental.
Dengan
dalih bahwa penanam modal lokal dan multinasional di daerah provinsi Jawa
Tengah dimaksudkan untuk menyejahterakan rakyat, pemerintah daerah provinsi
Jawa Tengan rupa-rupanya menyuntikkan kesadaran palsu pada masyarakat bahwa
betapa berjasanya para penanam modal tersebut dalam membuka lapangan pekerjaan.
Nah, karena jasanya tersebutlah pemerintah daerah pun secara implisit
mewajibkan kepada masyarakat setempat untuk membalas jasa dari para pemilik
modal tersebut dengan cara mendukung dan berperan serta memberikan kenyamanan
kepada para pemilik modal yang tengah menjalankan usahanya di daerah provinsi
Jawa Tengah. Berangkat dari sini patutlah kiranya dicurigai bahwa ketentuan
tentang kesejahteraan yang dirumuskan didalam peraturan daerah provinsi Jawa
tengah tersebut jangan-jangan hanya dijadikan sebagai alat semata bagi
pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman
bagi para pemilik modal dalam menjalankan usahanya bukan semata-mata ditujukan
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah.
Kontroversi ke 5,
sangat mungkin dengan diberlakukannya peraturan daerah provinsi Jawa Terngah
tersebut membuka peluang bagi penanam modal yang bergerak pada usaha ekspor dan
impor. Sebagaimana yang telah terjadi bahwa banyak barang-barang yang berasal
dari luar negeri yang didatangkan di dalam negeri untuk dipasarkan dimana
barang-barang impor ini dalam kenyataannya sulit untuk disaingi oleh produk
dalam negeri dimana produk dalam negeri ini justru rakyat kecillah yang
memproduksinya.
Mari
kita ambil contoh dari ketidakmampuan rakyat kecil dalam bersaing dengan produk
dari luar negeritersebut, ambil saja contohnya petani. Barang impor yang lebih
murah ketimbang barang lokat itu, pada kenyataannya membuat para petani tidak
bisa bersaing dan sulit untuk mengembangkan usahanya. Bagaimana mau
mengembangkan usaha, untuk sekedar dapat menjual barang dagangannya saja sulit
sekali karena barang dari luar negeri lebih murah ketimbang barang dari dalam
negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar