Sabtu, 25 Mei 2013

HUKUM ADAT YANG MASIH BERLAKU DI SUMATERA UTARA

HUKUM ADAT YANG MASIH BERLAKU DI  SUMATERA UTARA

Hukum adat yang berlaku di setiap daerah berbeda-beda meskipun tak jarang terjadi kemiripan, di daerah asal saya sendiri terdapat berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang menghasilkan hukum adat yang beraneka-ragam. Seperti yang diketahui, daerah Sumatera Utara di dominasi dengan suku Batak dan Melayu. Dimana suku Batak itu sendiri juga bemacam-macam, antara lain Toba, Karo, Simalungun, Tapanuli, dan Nias. Selain itu juga terdapat suku-suku pendatang yang jumlahnya juga cukup banyak seperti Jawa, Padang, dan lain sebagainya.
Di sini saya mencoba untuk menguraikan hukum adat yang masih berlaku di Sumatera Utara meskipun tidak semuanya dapat saya jelaskan secara detail. Berhubung saya suku Karo maka kemungkinan Hukum yang akan saya jelaskan tentang hukum adat Karo, namun tidak begitu terperinci karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki.

1. PERKAWINAN
Ada lima klen besar (marga) pada masyarakat karo, kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo : Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu dll (Jumlah = 18)
2. Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero dll (Jumlah = 13)
3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata dll (Jumlah = 16)
4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll (Jumlah = 15)
5. Perangin-angin: Bangun, Kacinambun, Perbesi,Sebayang dll (Jumlah = 18).
Total semua submerga adalah = 84
Sifat perkawinan dalam masyarakat Batak karo adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan). Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya. Perkawinan diantara semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest), perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.
Perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya. Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah untuk membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang berlaku.
Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak karo. Karena nilai budaya karo sangat tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak karo dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera.
Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang) adalah :diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa Karo disebut ‘i peridi i tiga’).
Proses Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai “Anak Perana” dan wanita dewasa dinamai “Singuda-nguda”. Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :
1. 1.      Naki-naki dan Maba Nangkih. Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo. Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.
1. 2.      Ngembah Belo Selambar. Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak, selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.
2. 3.      Nganting Manuk. Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya, berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.
Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family, Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.
Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui. Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan. Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.
1. 4.      Kerja Adat Perjabun. Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.
Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi. Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat. Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya. Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu “si arah raja”, ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur, diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya. Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita, selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.
1. 5.      Mukul. Mukul sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo yaitu acara makan-makan di tempat pihak laki-laki yang dihadiri oleh sebagian dari pihak perempuan.
Kelima tahapan tersebut harus dilakukan bila kita ingin perkawinan diakui berdasarkan adat-istiadat BK. Proses perjabun BK dianggap sah bila dihadiri/disetujui oleh “Sanggep Nggeluh”/Daliken Sitelu yang dikenal dengan istilah: Kalimbubu (kelompok paman), Senina (saudara kandun/sedarah), dan Anak Beru (kelompok perempuan).Elemen yang paling mendasar di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo diartikan sebagai sesuatu yang “berharga”.
Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga itu dari ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru (perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda).
Yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak boleh lagi menyebut nama, tetapi nama anaknya disebutkan. Jadi ia akan dipanggil sebagai bapak si “anu”. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan memanggil seperti itu berarti ia telah dihormati. Banyak lagi panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk menggantikan namanya sesuai dengan posisinya dan juga usianya. Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang diberlakukan.

1. PERTANIAN

Di sini merupakan kebiasaan yang umumnya dilakukan oleh suku Karo, yang kemudian terdapat hukum adat di dalam kebiasaan tersebut. Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Ada istilah Mbesur-mbesuri yaitu “Ngerires”, membuat lemang waktu padi mulai bunting (mulai berisi).
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.
Hari pertama, cikor-kor. Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.
Hari kedua, cikurung. Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.
Hari ketiga, ndurung. Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.
Hari keempat, mantem atau motong. Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk
Hari kelima, matana. Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.
Hari keenam, nimpa. Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.
Hari ketujuh, rebu. Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Dilarang membawa sayuran atau benda-benda yang berngiang ke rumah selama empat hari setelah merdang-merdeng tersebut. Menurut hemat saya, rebu ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban serta sopan santun bermasyarakat. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.
1. KELAUTAN

Di sini saya akan menguraikan tentang hukum adat kelautan pada suku Melayu Deli (Kesultanan Serdang). Berikut ini adalah aturan-aturan yang termaktub dalam hukum adat kelautan Kesultanan Serdang:
a. Norma dan Hukum di Laut
Semua orang yang ada di atas kapal, termasuk nakhoda (kapten kapal), mualim (navigator), para tukang, para awak kapal, dan lain-lainnya harus menaati apa yang menjadi norma dan hukum adat-istiadat yang diberlakukan di pelabuhan atau selama berada di atas kapal. Apabila ada kapal yang berangkat ke lautan, semua orang di atas kapal harus patuh di bawah perintah nakhoda (kapten kapal). Pada saat perahu membentangkan layar, mualim akan memerintahkan anak-anak buahnya untuk berjaga-jaga, termasuk memastikan kondisi perahu dalam keadaan siap untuk berlayar.
Orang-orang yang diberi tugas untuk menjaga keamanan itu harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Jika terjadi hal-hal yang tidak diiinginkan, maka mereka wajib dihukum dan dikenakan denda, sebagai contoh adalah sebagai berikut:
Apabila kapal mengalami kondisi bahaya dan mengakibatkan kerusakan akibat kelalaian para petugas yang seharusnya berjaga, maka menurut undang-undang, mereka harus dihukum cambuk sebanyak 20 kali.
Apabila kapal sedang dalam kondisi menuju bahaya sedangkan para penjaga tidak mengetahui hal ini, maka mereka patut dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 8 kali.
Apabila para penjaga membiarkan ada kapal lain lewat tanpa memberikan isyarat, maka mereka akan dikenai hukuman cambuk sebanyak 7 kali.
Apabila penjaga yang seharusnya bertugas mengawasi para budak lalai dalam pekerjaannya sehingga mengakibatkan budak-budak tersebut melarikan diri, maka penjaga yang bersangkutan harus dihukum cambuk sebanyak 60 kali.
Apabila petugas yang seharusnya menjaga agar kapal jangan sampai oleng dan jangan sampai banyak air yang masuk ke dalam kapal, lalai dalam menjalankan tugasnya, maka petugas tersebut dikenai hukuman cambuk sebanyak 15 kali.
Apabila para petugas yang berjaga tidak benar-benar memperhatikan keadaan di sekelilingnya sehingga terjadi kasus pencurian di dalam perahu, maka petugas itu akan dihukum cambuk sebanyak 2 kali oleh setiap orang yang ada di dalam perahu.
b. Aturan tentang Membuang Muatan ke Laut
Apabila diperkirakan akan terjadi badai, atau sedang terjadi badai, dan diharuskan membuang sebagian muatan ke laut untuk mengurangi beban kapal, maka akan diadakan suatu pembicaraan mengenai apa-apa saja yang ada di dalam kapal. Penumpang yang membawa barang muatan, baik berjumlah banyak ataupun sedikit, harus bersedia untuk membuang barang muatannya ke laut jika sudah disepakati dalam forum pembicaraan. Jika nakhoda lalai dalam mengumpulkan orang-orang yang membawa barang muatan dan begitu saja membuang barang muatan ke laut tanpa pandang bulu, maka nakhoda tersebut akan disalahkan dan patut memperoleh hukuman.
c. Aturan Jika Terjadi Kecelakaan Kapal
Apabila kapal berbenturan atau bertabrakan dengan sebuah kapal perang, di mana dapat menimbulkan korban jiwa, maka kesalahan ini harus ditanggung oleh semua orang yang ada di dalam kapal. Setiap orang harus membayar dengan jumlah yang sama. Hal ini berlaku tanpa terkecuali, baik untuk yang kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa.
Apabila kapal mengalami kecelakaan dan terjadi tabrakan karena angin ribut, badai, terjebak di perairan yang dangkal, atau bersenggolan dengan kapal lain, dan mengakibatkan kapal tenggelam, terdapat undang-undang yang mengatur hal ini. Insiden itu tidak dianggap karena disebabkan oleh faktor alam (angin ribut) melainkan karena kelalaian orang-orang yang seharusnya bertanggungjawab (human error).
Jika misalnya akan terjadi angin ribut, sebaiknya diusahakan untuk menyelamatkan kapal demi menghindari terjadinya kerugian yang lebih besar. Undang-undang menyatakan bahwa kerugian yang timbul karena insiden itu harus ditanggung dan dibagi dalam 3 bagian. Sebanyak 2/3 bagian harus ditanggung oleh orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya kecelakaan itu, sementara 1/3 lainnya menjadi tanggungan si pemilik kapal.
d. Aturan Memasuki Pelabuhan dan Berdagang
Apabila nakhoda ingin singgah di suatu bandar pelabuhan, pulau, atau pesisir, maka seharusnya diadakan musyawarah terlebih dulu. Jika disetujui, maka kapal bisa menuju tempat yang dikehendaki nakhoda tersebut. Apabila tidak diadakan musyawarah sebelum berlabuh, maka nakhoda dinyatakan telah melakukan kesalahan dan patut dikenakan sanksi.
Apabila kapal tiba di suatu bandar pelabuhan, maka yang pertama-tama diperbolehkan turun dari kapal untuk berdagang adalah nakhoda, yakni selama 4 hari, dan harus dikawal oleh sejumlah petugas yang ditunjuk. Setelah urusan dagangnya selesai, nakhoda diharuskan segera kembali ke kapal untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Setelah nakhoda, selanjutnya adalah giliran kiwi (saudagar) yang diizinkan turun untuk berniaga selama 2 hari. Terakhir barulah semua orang yang ada di atas kapal turun untuk berdagang.
Apabila waktu yang ditentukan untuk berdagang telah berakhir dan nakhoda ingin membeli barang yang sudah dibawa ke atas kapal, maka tidak ada seorang pun diperbolehkan menawar harga lebih tinggi dari tawaran yang telah diajukan oleh nakhoda. Selain itu, nakhoda adalah orang pertama yang berhak mengetahui harga barang yang akan dijual. Apabila ada penumpang kapal yang membeli budak (hamba) wanita tanpa sepengetahuan nakhoda, maka nakhoda diberi hak untuk merampas budak wanita tersebut tanpa harus membayar ganti rugi.
e. Aturan tentang Penahanan Kapal
Apabila musim Kassia hampir usai, sedangkan nakhoda kapal lalai untuk berlayar, maka para saudagar akan menunggu dengan biaya sendiri selama 7 hari. Apabila setelah 7 hari itu nakhoda tidak juga berlayar, apalagi jika musim Kassia telah berakhir, maka nakhoda harus mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan oleh kaum saudagar.
Sebaliknya, apabila kaum saudagar yang menyebabkan keterlambatan pelayaran, sementara musim Kassia sudah hampir usai, maka nakhoda akan menunggu kapalnya selama 7 hari atas biaya sendiri. Apabila sudah lewat 7 hari dan kaum saudagar belum datang juga, maka nakhoda berhak memberangkatkan kapal tanpa harus menunggu lagi. Namun, nakhoda tidak mendapatkan ganti rugi apapun atas biaya yang dikeluarkan selama masa tunggu.
Menurut hukum, jika hampir terakhir musim Kassia, dan nakhoda perahu lalai berlayar, para kiwi akan menunggu, dengan ongkos sendiri selama 7 hari lewat itu, jika nakhoda tidak juga berlayar, dan musim sudah berakhir, harga yang dibayar untuk dibagi-bagikan mengenai muatan akan dikembalikan kepada para kiwi. Jika para kiwi yang menjadi sebab kelambatan itu, dan musim sudah hampir berakhir, maka nakhoda akan menunggu perahunya selama 7 hari atas biaya mereka, dan sehabis itu berhak berlayar tanpa mereka (jika mereka belum selesai), dan tidak ada yang dibayar atau diperbuat mengenai hal itu.
Jika musim tidak berapa jauh lagi, dan nakhoda sangat ingin untuk segera berlayar, ia harus memberitahukan hal itu kepada para kiwi, dan haruslah berunding dengan mereka untuk belayar dalam masa 7 atau 15 hari, dan jika para kiwi belum bersiap waktu itu, maka nakhoda berhak meninggalkan mereka di belakang dan segera berlayar.
f. Aturan tentang Hukuman Mati di Kapal
Terdapat empat perkara di atas kapal yang akan diancam dengan hukuman mati bagi pelakunya, yaitu:
1. Orang yang melakukan pemberontakan terhadap nakhoda.
2. Orang-orang yang membentuk komplotan untuk membunuh nakhoda.
3. Apabila ada orang yang membawa keris, sedangkan orang-orang lain tidak ada yang membawanya, dan orang yang membawa keris itu bertindak sewenang-wenang serta dicurigai akan melakukan tindakan yang membahayakan, maka setiap orang yang ada di kapal berhak untuk membunuh orang itu demi menghindarkan diri dari ancaman bahaya..
4. Apabila terjadi tindak pemerkosaan atau perzinahan.
g. Aturan tentang Perkelahian di Kapal
1. Apabila ada orang yang berkelahi di atas kapal, dengan maksud melukai lawannya namun luput dan justru mengenai bagian kapal, maka orang itu akan dikenakan denda 4 Pahar Petis Jawa.
2. Apabila ada orang yang berkelahi di bagian depan kapal dan menyerang sampai ke tempat di mana layar berada, maka si pelaku akan dihukum paling berat hukuman mati. Namun, apabila hal tersebut dapat dicegah, maka si pelaku hanya akan dikenakan denda sejumlah 1 Laksa, 5 Pakar Petis Jawa.
3. Apabila ada orang yang berkelahi dan saling mengejar sampai ke ke pintu kamar nakhoda, meskipun ia tidak mencabut kerisnya, si pelaku diperbolehkan dihukum mati. Namun, jika si pelaku minta ampun, maka hukumannya adalah membayar denda sejumlah 4 Pakar Petis Jawa dan memotong kerbau untuk pesta nakhoda.
h. Aturan tentang Pencurian di Kapal
1. Apabila ada laki-laki (yang bukan budak) ketahuan mencuri di atas kapal, baik mencuri emas, perak atau barang-barang berharga lainnya, maka ia akan dihukum sesuai dengan hukuman diberlakukan di darat.
2. Apabila orang yang mencuri itu adalah seorang budak, pertama-tama ia harus dipertemukan dengan tuannya, dan jika ternyata tuannyab tahu tentang pencurian itu dan tidak memberitahukannya kepada nakhoda, maka hukuman bagi si budak adalah potong tangan, sedangkan tuannya diharuskan membayar denda.

1. WARISAN

Hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan orang tuanya. Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak, sementara hukum waris adat Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan dan janda. Telah ada perkembangan hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak sebanyak bahagian anak laki-laki.
Filosofinya anak perempuan tidak boleh meminta warisan, sebab ia akan dipenuhi kebutuhannya oleh suaminya. Tetapi anak perempuan harus mendapat bagian sebagai kenang-kenangan dari orangtuanya, bisa berupa kaplingan Rumah atau barang berharga dari orang tua mereka, emas atau berlian…dstnya. Tetapi anak laki-laki harus bertanggung jawab terhadap turangnya apabila hidup turangnya tidak beruntung (diceraikan oleh suaminya).Namun kedudukan janda belum diterima sebagai ahli waris harta suaminya karena masyarakat masih berpegang teguh pada hukum waris adat Batak Karo yang menolak janda sebagai ahli waris.


PENUTUP
1. KESIMPULAN

Dari isi makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa adat, hukm adat dan adat istiadat adalah tiga hal yang berbed tapi saling berkaitan satu sama lain. Dimana Adat memiliki perngertian aturan-aturan perilaku serta kebiasaan yang telah berlaku di dalam pergaulan masyarakat. Sedangkan Hukum Adat adalah sekumolan peraturan yang tidak tertulis, dan tidak terkodifikasi namun hidup dan berkembang di tengah masyarakat serta memiliki sanksi bagi yang melanggarnya. Terakhir, Adat istiadat adalah etika atau tata krama bersikap dan bergaul yang sifatnya diturunkan dari para lelhur dan memiliki nila-nilai tersendiri.
Baik adat, hukum adat maupun istiadat merupakan tiga hal yang dimiliki oleh setiap daerah dan biasanya terdapat perbedaan-perbedaaan diantara daerah-daerah tersebut. Namun dalam perbedan-perbedaan tersebut terdapat (tersirat) suatu nilai moral yang sama, yang bertjuan untuk tetap menghormati kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat.
Di dalam hukum adat perkawinan suku Karo di sumatera utara dilarang untuk kawin satu marga (klan), hal ini menujukkan bahwa suku ini menganut sistem perkawinan eksogami yang merupakan ciri dari struktur Patrilinial (garis hkum dari pihak laki-laki). Perkawinan semarga ini disebut juga sumbang atau incest, yang mana bila dilanggar akan mendapat sanksi adat.
Di dalam pertanian orang karo dikenal istilah Merdang merdem, yaitu kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Biasanya dilakukan tujuh hari berturut-turut, dimana setiap harinya memiliki jadwal atau aturan tersendiri yang harus dilakukan. Di sini hukum adatnya berlak pada hari ketujuh, yaitu hari terakhir yang merupakan hari Rebu. Yaitu hari dilarang berbicara satu sama lain, dan dianjurkan untuk menenangkan diri setelah berpesta.
Dalam hukum kelautan di sumatera utara saya mengambil contoh aturan dari Kesultanan Serdang. Di sini terdapat aturan-aturan yang sudah ada dari sebelum zaman Belanda dan memiliki sanksi tersendiri bila dilanggar (terjadi). Diantaranya mengenai aturan di laut, membuang muatan ke laut, kecelakaan, berdagang, perkelahian dan sebagainya.
Sedangkan di dalam hukum warisan, biasanya suku karo memberikan bahagian yang lebih banyak kepada anak lelaki. Hal ini karena anak lelaki akan dan harus bertanggng jawab terhadap kehidupan turangnya (yang masih butuh ditanggung dan apabila sudah bercerai). Di sini hak atau bagian untuk anak perempuan tidak sebanyak bagian anak laki-laki, biasanya pada anak perempuan maupun anak terakhir diberikan warisan berupa rumah tempat tinggal milik orang tuanya atau emas. Anak perempuan dianggap tidak pantas untuk meminta warisan, karena mereka hanya akan mendapat warisan apabila telah diberikan dari orang tuanya.

Jumat, 24 Mei 2013

Kemitraan DPRD dan Kepala Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat










BAB I
P E N D A H U L U A N


1.1.Latar Belakang

Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penye¬lenggaraan pemerintahan,Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
1.2.RumusanMasalah
1.      Bagaimana Prinsip dan Tujuan Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah?
2.      Pengaruh Pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Otonomi Daerah?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Prinsip dan Tujua Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah ini, adalah “memberikan penjelasan tentang Prinsip dan Tujuan dari pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah serta pengaruhnya dalam Otonomi daerah”




BAB II
P E M B A H A S A N


2.1.Pengertian Pemerintah Pusat dan Daerah

                 Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang sebagai badan eksekutif daerah. Artinya, lembaga eksekutif terdiri dari kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain (HAW Widjaja, 2001: 9).Pemerintahan Daerah menurut Ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
                 Pemerintahan Pusat berdasarkan Ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai mana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2.Prinsip Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

                 Indonesia sebagai negara  kesatuan maka dalam negara Indonesia  tidak dikenal negara dalam negara sebagaimana layaknya pada negara federal.  Meskipun demikian, secara teoritis  negara kesatuan  mengenal dua bentuk, yakni negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi.Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 indonesia adalah negara  kesatuan yang menganut sistem desentralisasi, sehingga dikenal  adanya pemerintahan daerah .  Keberadaan pemerintah daerah itu setelah UUD 1945 diamandemen terdiri Dari Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

                 Seperti  telah dikemukakan, bahwa dalam negara  kesatuan kekuasaan pemerintahan berada dalam satu tangan pemerintah,  tetapi dengan asas desentralisasi kekuasaan pemerintahan itu dapat didistrubusikan kepada  pemerintah daerah.  Dalam kaitannya dengan pemencaran kekuasaan pemerintahan itu sepanjang sejarah pemerintahan daerah di Indonesia  telah dikenal berbagai model  dalam rangka apa yang menjadi urusan pusat dan apa yang menjadi urusan daerah.Dari sejumlah Peraturan Perundang-undangan yang  pernah berlaku dan sekarang masih berlaku  dikenal pula berbagai  prinsip pemencaran kekuasaan pemerintahan antara pusat dan daerah, yakni ;  (1) penyerahan urusan; (2)  pembagiian  kewenangan dan (3) dibawah keberlakuan UU No 32 Tahun 2004 dilakukan dibawah model pembagian urusan antara  pemerintah  pusat dan daerah. Masing konsep itu tentu memiliki konsekuensi tersendiri  turut mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dan daerah.

                 Pola penyerahan urusan kepada daerah, maka  apa yang menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tergantung pada ada atau tidak adanya penyerahan urusan kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan ruimah tangganya.  Dengan pola penyerahan urusan besar kecilnya urusan otonomi daerah tergantung pada  kebijakan politik pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atas. Sementara berdasarkan pola pembagian kewenangan,  antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah ditegaskan apa yang menjadi kewenangan masing-masing dan  yang dibagi bukan urusan tetapi kewenangan.

                 Konsep pembagian kewenangan antara pemerintah  pusat dengan pemerintah daerah sebagai dianut  dibawah UU No 22 Tahun 1999 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 kembali dikoreksi dan diganti dengan konsep Pembagian urusan antara pusat dan daerah sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007.  Secara substansi dan filofis tentu ada perbedaan yang mendasar antara  konsep pembagian kewenangan dan konsep pembagian urusan, meskipun dalam prakteknya bagi pemerintah daerah tidak dirasakan. Hal ini terutama kalangan pemerintah daerah lebih fokus pada adanya urusan. Padahal terdapat suatu perbedaan yang mendasar mengelola pemerintahan daerah dibawah konsep pembagian kewenangan dengan konsep pembagian urusan.Bagaimana peralihan konsep pembagian kewenangan ke  konsep pembagian urusan  sebagai  isi rumah tangga daerah tentulah dapat dipahami dengan memperbandingkan antara PP No 25 Tahun 2000 dengan PP No 38 Tahun 2007.

2.3.Tujuan Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
           
                 Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni :

a). Nilai unitaris : Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-¬kesatuan pemerintahan regional atau lokal.

b). Nilai desentralisasi : Nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
                 Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.

                 Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah “Eenheidstaat”, maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri¬-ciri :
a). Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal;
b). Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan;
c). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b; tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

                 Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1)      Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan;
2)      Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom;
3)      Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis;
4)      Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub¬ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif;
5)      Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.

Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
x Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan;
x Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.

                 Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan Pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan.Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan; Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat. Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan,yakni
(1) Pola-general competence (otonomi luas)
     Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-¬urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
(2) Pola ultra vires (otonomi terbatas).
Prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.

                 Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku “Integrated Field Administration” yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya.

                 Gubernur mempunyai “Tutelage Power” yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti luas dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb.

                 Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out dsb.

                 Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.

                 Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.

                 Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah sate ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan rid warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas–batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.

                 Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan riil masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi ke-khas-an daerah yang bersangkutan.

                 Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara¬cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi “benchmark” bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan¬-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

                 Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi:
a). Hubungan wewenang
b). Keuangan
c). Pelayanan umum
d). Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

                 Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
A. Hubungan Wewenang
1. Pembagian urusan Pemerintahan
Ketentuan hukum yang mengatur lebih lanjut hubungan antara pempus dan pemda sebagai penjabaran dari dasar konstitusioanal adalah Pasal 10-18 UU Nomor 32 Tahun 2004.Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
a). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (pemerintah)
b). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi
c). Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota
2. Kriteria Pembagian urusan antar Pemerintah, daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren (artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah) secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
a). eksternalitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
b). akuntabilitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c). efisiensi
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
2. Urusan Pemerintah yang menjadi urusan pempus
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi:
a. Politik luar negeri; mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya
b. Pertahanan; misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya;
c. Keamanan; misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya
d. Yustisi; misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undangundang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya
e. Moneter dan fiskal nasional; misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya
f. Agama ; misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya.
                 Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan pempus meliputi :
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah kepegawaian, dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;

3. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Dalam menyelenggarakan 6 urusan pemerintahan (pasal 10 ayat 3 UU No.32/2004) Pemerintah :
a). menyelenggarakan sendiri
b). dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau
c). dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
Di samping itu, penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (Pasal 10 ayat 3) Pemerintah dapat :
a). menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau
b). melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah,
c). atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

4. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemda
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria-kriteria, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
a). Urusan wajib artinya : Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan wajib menurut penjelasan UU No.32/2004 artinya suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara seperti perlindungan hak konstitusional, pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
b). Urusan pilihan artinya : baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpetensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No 38/2007 meliputi :
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi (Pasal 13 UU No 32 tahun 2004):
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapatdilaksanakan oleh kabupaten/kota
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota (psl 14) meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
l. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. pelayanan administrasi penanaman modal;
n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

                 Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.

                 Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.





B A B  III
P E N U T U P

3.1.Kesimpulan

                 Dari sejumlah Peraturan Perundang-undangan yang  pernah berlaku dan sekarang masih berlaku  dikenal pula berbagai  prinsip pemencaran kekuasaan pemerintahan antara pusat dan daerah, yakni ;  (1) penyerahan urusan; (2)  pembagian  kewenangan dan (3) dibawah keberlakuan UU No 32 Tahun 2004 dilakukan dibawah model pembagian urusan antara  pemerintah  pusat dan daerah. Masing konsep itu tentu memiliki konsekuensi tersendiri  turut mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dan daerah.  
                 Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yang merupakan bentuk dari pembagian kekuasaan pusat dan daerah yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.




Hubungan Kepala Daerah dan DPRD


BAB I
P E N D A H U L U A N


1.1.Latar Belakang

Dengan adanya upaya mewujudkan otonomi daerah, persoalan hukum pemerintah daerah semakin luas, kompleks, dan banyak hal yang perlu dikaji. Salah satu hal yang sangat mendasar adalah masalah “hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah”.Secara historis, hubungan kedua lembaga pemerintahan daerah tersebut mengalami pasang surut, dalam periode tertentu DPRD lebih dominan, dalam periode lain Kepala Daerah lebih dominan. Pola hubungan demikian belum memberikan suatu iklim yang kondusif dalam proses mewujudkan otonomi daerah di Indonesia.Berpedoman pada kelemahan dan pola-pola yang lalu, di masa datang harus dibangun suatu konsep atau prinsip seimbang, setara (sederajat), dan kemitraan atas semangat “check and balance” yang pengaturannya dirumuskan secara tegas di dalam UUD 1945 dan dijabarkan di dalam UU tentang pemerintahan daerah.Manfaat buku ini bagi meneka yang haus akan ilmu antara lain meningkatkan wawasan intelektualitas dan wibawa dalam memahami dinamika kehidupan politik dan hukum yang kadang dipikirkan sangat tidak ideal.

Dalam sejarah administrasi publik pernah dipersoalkan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif secara riil, yang dikenal dengan “dikotomi administrasi politik” tetapi ternyata dunia legislatif dan eksekutif bukan dunia dikotomis. Meskipun memiliki fungsi yang berbeda tetapi sifat dari fungsi tersebut sangat komplementer atau saling mengisi.

Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 2001, peluang penelitian dengan menggunakan perspektif keagenan (agency theory) terbuka lebar. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan kemitraan DPRD dan Kepala Daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat?
2. Hubungan kerjasama DPRD dengan Pemerintah Daerah?
1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kemitraan DPRD dan Kepala Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat ini, adalah “Keterkaitan antara DPRD dan Kepala Daerah sebagai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat”.

































BAB II
P E M B A H A S A N


2.1 Kemitraan DPRD dan Kepala Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat

Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diteropong untuk diketahui bersama antara keduanya dalam membangun hubungan yang ideal dan harmonis yakni:

pertama, legitimasi kekuasaan. Kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) ini sama-sama mendapat legitimasi rakyat, keduanya dipilih rakyat secara langsung. Yang membedakan legitimasi tersebut adalah derajatnya. Tak dapat disangkal bahwa legitimasi kepala daerah/wakil kepala daerah lebih besar dibanding dengan DPRD.

Kedua, masyarakat di daerah. Bagi eksekutif, masyarakat adalah pihak yang harus dilayani, dipuaskan dengan berbagai kebijakan populis yang dibuat bersama legislatif. Sedangkan bagi DPRD yang berasal dari parpol, masyarakat adalah konstituen dan basis politik yang sangat mempengaruhi evolusi partai yang berjalan linear dengan kepentingan individunya. Masyarakat baik bagi parpol maupun pemerintah daerah adalah sumber legitimasi, dan mandat politik atau kekuasaan.

Ketiga, posisi politik masing-masing. Baik DPRD maupun pemerintah daerah merupakan mitra sejajar dan penyelenggara pemerintahan di daerah (Pasal 19). Peran tersebut harus diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayananan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkaan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.

Keempat, saling memahami tugas, wewenang, kewajiban dan bahkan larangan yang sudah digariskan oleh UU Pemda. Misalnya untuk kepala daerah /wakil kepala daerah (Pasal 25, 26, 27, dan 28) dan untuk DPRD (Pasal 42, 43, 45, dan 54). Ketika memasuki wilayah praktis-politis untuk meletakkan hubungan kemitraan dengan eksekutif, DPRD hanya memperhatikan fungsinya seperti yang diamanatkan oleh UU Pemda Pasal 41 menyangkut tiga (3) hal: Pertama, hubungan (dalam konteks) legislasi.

Berdasarkan UU nomor 22 tahun 1999 legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar.

Hubungan antara kedua lembaga negara ini dalam UU nomor 32 tahun 2004 adalah pada saat membuat peraturan daerah (perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 – syarat perda dan Pasal 138 – asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD-Pasal 181).
Sebelum menjadi sebuah perda yang bersifat tetap, maka perda harus melalui beberapa tahap yakni:
a) sosialisasi,
b) penetapan, dan
c) pengundangan.

Tujuan dari pertimbangan diatas antara lain:
a) demi kualitas kandungan dan sisi pandang yang komperhensif dari sebuah perda,
b) agar perda tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (136 ayat 4). Sehingga sebisa mungkin, masyarakat dilibatkan secara aktif terlebih pers, LSM dan Intelektual kampus (Pasal 139 ayat 1).

2.2.Hubungan Kerjasama DPRD dengan Pemerintah Daerah

Dalam konstelasi pemerintahan di daerah, DPRD pada hakekatnya di samping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat, juga sebagai mitra / partner eksekutif dalam merumuskan kebijaksanaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah, selain itu kedua lembaga itu juga mempunyai kedudukan yang sejajar.

Pada ulasan terdahulu disebutkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak dikenal lagi penyebutan DPRD sebagai Lembaga Legislatif Daerah, Termasuk penyebutan kesejajaran dan mitra dalam melaksanakan tugasnya masing-masing sebagaimana disebutkan pada pasal 16 ayat (2) undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa, Dalam kedudukannya sebagai badan Legislatif Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dan Pemerintah Daerah. Dengan tanpa menguraikan makna mitra itu sendiri secara lebih mendetail.

Namun sebagai lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah, hal ini sebagai mana diatur dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedudukan yang setara bermakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.

Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Hal tersebut bertujuan agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antara lembaga legislative dan eksekutif, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari penelitian atau pengambilan kebijakan secara bersama-sama, juga dapat dilihat dari pengaturan akan setiap penyelenggaraan pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi pengaturan akan posisi Pimpinan dan Anggota DPRD pada setiap acara yang digelar secara resmi/formal.

Kedudukan lembaga DPRD dengan Pemerintah Daerah adalah sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintrah Daerah oleh sebab itu, lembaga DPRD merupakan badan legislative daerah yang berfungsi menetapkan tugas pemerintahan di bidang politik, sedangkan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif daerah, berfungsi menyeleggarakan pelaksanaan dari pada garis-garis besar haluan pembangunan daerah (GBHD) yang telah ditetapkan oleh badan legislative daerah.

Menurut Penulis, DPRD sebagai mitra kerja eksekutif, tentu dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah, jadi DPRD sebagai mitra eksekutf tersebut bukanlah berarti bekerja sama untuk memenuhi kepentingan masing-masing pihak dalam arti kepentingan perseorangan, kelompok dan atau kepentingan Partai akan tetapi semata-mata antar dua lembaga tersebut dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang telah disepakati secara bersama-sama dapat diimplemntasikan untuk kepentingan rakyat di daerah dan Negara. Serta masing-masing lembaga dalam pelaksanaan fungsinya bisa saling memahami akan tugas yang melekat pada masing-masing lembaga tersebut secara proporsional, dengan tanpa saling mencurigai, membawahi, lebih menonjolkan/mendominasi dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana sebaiknya pola hubungan antar Kepala Daerah dengan DPRD kedepannya, Sekjen Depdagri Siti Nurbaya ketika membuka seminar “hubungan Eksekutif dan Legislatif’ mengemukakan tiga pola hubungan Legislatif-Eksekutif yang secara realistic dapat dikembangkan. Ketiga hubungan itu adalah, pertama, bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi, Kedua, bentuk kerja sama atas beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi, dan ketiga, klarifikasi atas berbagai permasalahan. Ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik eksekutif maupun Legiiatif dan yang paling berat dirasakan kedua belah pihak mungkin dalam hubungan kiarifikasi.

Namun, kolaborasi tersebut hanya mungkin menjadi kenyataan jika dikembangkan etika yang dapat merefleksikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekrja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya Pemerintah Daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif. yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.

Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislative tersebut meliputi hal-hal, yaitu : representasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan peraturan daerah, pengangkatan sekretaris daerah, pembinaan dan pengawasan. Kesemua hal tersebut dapat terwujud, dan berjalan sebagaimana diharapkan bilamana baik eksekutif maupun legislative memiliki visi bersama yaitu suatu visi yang bukan saja menyangkut kelembagaan, tetapi juga secara individual mereka merasa benar-benar terikat (committee), karena hal tersebut mencerminkan visi pribadi masing-masing.

Harmonisasi hubungan antara eksekutif dan DPRD dalam kontek tata laksana penyelenggaraan pemerintahan di daerah sedikit banyak ikut menentukan terciptanya situasi yang kondusif bagi keberhasilan program-program pembangunan daerah. Karena itu pola hubungan yang seimbang dan egaliter antara dua lembaga tersebut perlu terus menerus ditingkatkan sebagai upaya menjaga stabilitas politik di daerah. Dengan demikian, dalam beberapa kasus kerap terjadi disharmonisasi hubungan antara eksekutif dan DPRD, baik dalam konteks kesalahpahaman dalam menerjemahkan makna substansi undang-undang, maupun lebih bersifat politik. Bahkan fluktuasi hubungan antara kedua lembaga tersebut tidak mustahil mengarah pada terjadinya konflik politik. Hal ini menurut penulis, bisa dicerna dalam dua hal, pihak eksekutif yang belum sepenunhnya memahami ataukah pihak legislative yang kerap mengarah pada perilaku “politicking”. Jika hal ini terjadi pada level legislatif atau anggota-anggota DPRD, maka sudah seharusnya dan sepantasnyalah jajaran DPRD untuk mawas diri dan melihat kedepan terhadap substansi persoalan, bukan malah mempolitisasi sehingga permasalahan yang begitu prinsipil hanya dijadikan komoditas politik belaka.

Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Pemerintah Daerah di era Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah berkedudukan sebagai Lembaga Eksekutif Daerah, sedangkan DPRD berkedudukan sebagai Lembaga Legislatif Daerah. Disini tergambar adanya checks and balances dalam pemerintahan (terlepas dan implementasinya banyak menimbulkan persoa1an). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat (3), Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah. Dan DPRD dirumuskan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah.

Di sini sangat tampak terjadi degradasi kedudukan dan peran DPRD sebagai lembaga Legislatif Daerah, DPRD diformat sedemikian rupa sehingga menempel sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian power DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat yang memperjuangkan segala aspirasi dan kepentingan rakyat untuk diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sedikit mengalami penurunan. DPRD kemudian diasumsikan hanya bekerja dalam format politik berdasarkan undang-undang otonomi yang baru.

Boleh dikata, DPRD di bawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengalami kemunduran, yaitu dan Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. DPRD yang semula diposisikan layaknya DPR untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Kepala Daerah, menjadi harus bersama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hampir sama posisinya dengan posisi DPRD di bawah undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. dan sisi psikologi politik perundang-undangan juga terjadi semangat uang berbeda. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur lebih dahulu DPRD yang merupakan representasi dan rakyat, dan Kepala daerah yang diberi amanat untuk menjalankan pemerintahan daerah. Sedangkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendahulukan pengaturan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mungkin juga dengan asumsi Kepala Daerah akan dipilih langsung. Hal ini bukan soal salah-benar, tetapi soal bahwa secara politis, mernang DPRD diposisikan tidak lebih penting dan Kepala Daerah. Reduksi yang paling mencolok dan peran DPRD adalah hilangnya Pasal 16 ayat (2) dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebut DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.

Dari segi tehnis perundang-undangan, memang segala kehendak, aspirasi, dan kepentingan Pemerintah Pusat, akan menjadi politik hukum dalam membuat peraturan pemerintah tersebut. Secara filosofis, sebenarnya nyawa otonomi tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Bukan soal kewenangan DPRD akan dibatasi atau dikurangi yang menjadi soal, tetapi berhak kah sesuai dengan semangat otonomi, Pemerintah Pusat mengatur eksistensi lembaga seperti DPRD, sehingga bisa mengancam posisi politik dan kinerja DPRD ? “Posisi DPRD menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sudah kuat, tinggal terus merajut untuk bagaimana menjadi wakil rakyat yang merakyat, bukan dengan memformat ulang dengan melakukan ‘pembonsaian’ demokratisasi DPRD”.

Bila dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan tempat yang berbeda antara lembaga legislative dengan lembaga eksekutif. Di dalarn pasal 14 ayat (1) dinyatakan “ Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai badan Eksekutif Daerah”. Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah Daerah adalah hanya “kepala Daerah beserta Perangkat Daerah lainnya”. Dan yang perlu kita catat adalah kedudukan diantara kedua lembaga tersebut bersifat sejajar dan menjadi mitra sekaligus.

Seperti diterangkan diatas, bahwa sebagai lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Kedudukan yang setara berrnakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah merniliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Hal tersebut bertujuan agar masing-masing memperoleh hak  an melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislative, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan tentang kedudukan protokoler Pimpinan dan Anggota merupakan pedoman pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi Pemerintahyang diselenggarakan di daerah sehubungan dengan jabatannya sebagai Pimpinandan anggota DPRD. Pengaturan dimaksud meliputi pengaturan tata tempat, tatau pacara, dan tata penghormatan.




























BAB III
P E N U T U P


3.1.Kesimpulan
DPRD di bawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengalami kemunduran, yaitu dan Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. DPRD yang semula diposisikan layaknya DPR untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Kepala Daerah, menjadi harus bersama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hampir sama posisinya dengan posisi DPRD di bawah undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. dan sisi psikologi politik perundang-undangan juga terjadi semangat uang berbeda. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur lebih dahulu DPRD yang merupakan representasi dan rakyat, dan Kepala daerah yang diberi amanat untuk menjalankan pemerintahan daerah. Sedangkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendahulukan pengaturan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mungkin juga dengan asumsi Kepala Daerah akan dipilih langsung. Hal ini bukan soal salah-benar, tetapi soal bahwa secara politis, mernang DPRD diposisikan tidak lebih penting dan Kepala Daerah. Reduksi yang paling mencolok dan peran DPRD adalah hilangnya Pasal 16 ayat (2) dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebut DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.